Koalisi Masyarakat Sipil yang terdiri dari beberapa lembaga swadaya masyarakat (LSM) mendorong agar pemerintah memulihkan hak-hak korban yang telah dijerat pasal karet dalam Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Hal tersebut dinilai penting lantaran pemerintah sudah mengakui pasal-pasal karet tersebut dengan membuat sebuah pedoman implementasi aturan. Sehingga, hak asasi korban dinilai perlu dipenuhi.
"Memulihkan korban yang sudah terbukti dijerat pasal-pasal karet UU ITE adalah sebuah bentuk hak asasi yang harus dipenuhi dan dilakukan oleh negara sekarang. Sesuai kovenan internasional tentang hak sipil dan politik yang sudah diratifikasi oleh Indonesia," tulis koalisi dalam keterangan tertulis, Jumat (25/6).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Adapun koalisi ini terdiri dari sejumlah LSM, seperti Amnesty International Indonesia (AII), Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Greenpeace Indonesia, ESLAM, ICJR, ICW, Imparsial, KontraS, LBH Jakarta, Remotivi, SAFEnet dan lainnya.
Dalam hal ini, mereka mendorong agar pemerintah --aparat penegak hukum-- turut menghentikan semua proses hukum yang tengah berlangsung saat ini berkaitan dengan UU ITE.
Meski demikian, koalisi tetap merasa pemerintah tak boleh berhenti hanya dengan menerbitkan pedoman implementasi payung hukum tersebut. Mereka menolak apabila penerbitan pedoman menjadi dalih untuk menghentikan proses revisi UU ITE.
"Perlu diingat bahwa proses regulasi Undang-Undang atau merevisi UU ITE juga dapat memakan waktu yang panjang. Maka dari itu, moratorium kasus UU ITE menjadi penting untuk pemerintah," menurut koalisi.
"Koalisi Serius Revisi UU ITE juga mendesak kepada Pemerintah untuk tetap memprioritaskan dan menjaga komitmen Revisi UU ITE," tambahnya.
Koalisi meminta agar pemerintah tak selalu menjadikan pedoman implementasi sebagai jalan pintas dalam menyelesaikan masalah Undang-undang bermasalah yang perlu untuk direvisi.
Mereka pun menyayangkan sikap pemerintah yang dinilai tertutup dalam menyusun naskah pedoman yang kemudian diterbitkan dalam bentuk surat keputusan bersama (SKB).
"Padahal, partisipasi publik yang bermakna, efektif dan inklusif merupakan bagian yang sangat penting dalam penghormatan dan pemenuhan hak asasi manusia," ucap koalisi ini.