75 Tahun Bhayangkara di Balik Bayang Kekerasan Aparat
'75 tahun sudah Korps Bhayangkara berdiri, namun kami masih melihat berlangsungnya pola kekerasan senantiasa mendominasi kerja-kerja Polri'
Pembuka itu muncul pada laporan tahunan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) yang diterbitkan pada Juni 2021.
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) itu menggambarkan persoalan kekerasan di tubuh Polri yang hingga kini belum ada ujungnya. Dalam laporan tersebut, KontraS mencatat polisi menjadi aktor paling banyak menyiksa warga sipil.
Sejak Juni 2020-Mei 2021, KontraS menemukan 651 kasus kekerasan oleh Polri terjadi di Indonesia yang diperoleh berdasarkan kanal media informasi, advokasi, serta jaringan di daerah. Angka tersebut tak rigid lantaran dapat bertambah isu yang tak terendus publik.
Tiap tahun tren menunjukkan polisi selalu menjadi pihak yang dinilai bertindak sewenang-wenang melakukan kekerasan selama menjalankan tugas ataupun berperilaku sehari-hari.
Perkara yang terjadi beragam, mulai dari salah tangkap warga sipil, penyiksaan terhadap kriminal, pembunuhan, pembubaran massa aksi, intimidasi, hingga penembakan. Korban pun beragam, mulai dari warga biasa, dosen, aktivis, hingga anak di bawah umur.
"Praktik penyiksaan bukan lagi persoalan oknum aparat, melainkan terjadi secara sistematis, menjadi problem akut yang bersifat struktural kelembagaan," tulis KontraS dalam hasil laporannya itu.
Dari jumlah tersebut, tercatat 13 orang tewas dan 98 korban lain luka-luka. Kebanyakan, pelaku berasal dari tingkat Polres sebanyak 399 kasus, Polda 135 kasus, dan 117 lainnya di tingkat Polsek.
Dari keseluruhan kasus tersebut, tercatat ada 36 perkara yang diklasifikasikan KontraS sebagai tindak penyiksaan.
Motif penyiksaan seringkali berpaku pada pola yang sama yakni mendapat pengakuan dari tersangka atau yang disebutkan KontraS dalam laporannya sebagai korban tindak pidana.
KontraS juga menemukan indikasi pembiaran oleh aparat usai menganiaya ataupun tindak kekerasan lainnya tanpa memberikan pemulihan bagi korban salah tangkap.
Misalnya kasus yang menimpa kuli bangunan, Sarpan (57) yang diduga dianiaya penyidik pada Polsek Sei Tuan, Medan di sel tahanan. Dia dipaksa mengaku sebagai pelaku pembunuhan.
Korban baru dibebaskan usai kantor polisi itu digeruduk oleh sekumpulan massa empat hari kemudian.
Atau kasus lain menimpa Herman (39), tahanan di Polresta Balikpapan yang meninggal dunia usai mengalami penganiayaan di dalam sel tahanan.
Selain itu, terdapat juga aksi-aksi kekerasan dalam bentuk penggunaan kekuatan secara berlebihan (excessive use of power) yang tercermin dari brutalitas aparat dalam menangani massa aksi Omnibus Law pada 6-9 Oktober 2020 ataupun penolakan Otonomi Khusus (Otsus) Jilid II.
"Dari banyaknya kasus penyiksaan dan perlakuan kejam lainnya yang dilakukan oleh Polri, sudah seharusnya reformasi tubuh Kepolisian dilakukan secara serius," ucap KontraS.
"Evaluasi harus dilakukan secara utuh dan komprehensif sehingga menyentuh akar persoalan," tambahnya.
Mereka menilai bahwa selama ini upaya penindakan terhadap pelaku kekerasan dari unsur kepolisian hanya bersifat formalitas sehingga penyelesaian tersebut seringkali tak transparan dan akuntabel, serta tidak menimbulkan efek jera.
Polri dinilai harus berbenah dengan mengubah kultur yang terus melegitimasi tindak penyiksaan serta diskresi yang begitu luas tanpa pengawasan serius.
Berlanjut ke halaman berikutnya....