75 Tahun Bhayangkara di Balik Bayang Kekerasan Aparat

CNN Indonesia
Kamis, 01 Jul 2021 06:22 WIB
Peringatan HUT ke-75 Bhayangkara yang jatuh pada 1 Juli masih dibayangi tindakan kekerasan dari kepolisian.
Foto: CNN Indonesia/Adhi Wicaksono

Peneliti kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto melihat bahwa sistem pengawasan internal di kepolisian tak berjalan baik.

"Mengapa itu (kekerasan) bisa terjadi? Secara kelembagaan karena lemahnya sistem kontrol dan pengawasan perilaku oknum-oknum yang ada di dalamnya," kata Bambang saat dihubungi CNNIndonesia.com.

Dia beranggapan bahwa pelanggaran yang dilakukan polisi tak terlepas dari moralitas dan integritas tiap individu di dalamnya.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Hanya saja, dalam suatu organisasi milik negara seharusnya sistem yang baik dapat menangani persoalan tersebut sehingga jajaran Polri tak bergerak atas kemauannya sendiri dan tak lupa membawa nama besar institusi di belakangnya.

"Dengan membangun sistem yang baik dan ketat manusia polisi ini diharapkan bisa lebih disiplin daripada masyarakat pada umumnya," ucap dia.

"Revitalisasi janji anggota Polri, Tribrata, dan Catur Prasetya harus terus dilakukan. Jangan-jangan saat ini banyak anggota yang tidak hafal dengan janji tersebut, tergantikan dengan jargon yang berganti tiap ganti Kapolri," tambahnya.

Bambang mencontohkan, pengawasan berjenjang harus mutlak dilakukan dan masuk dalam sistem reward and punishment sehingga semua saling mengawasi.

Selain itu, Polri juga harus melepas ego sektoral dan menganggap dirinya memiliki kewenangan berlebih. Jika dulu polisi dikenal sebagai satu rumpun dengan tentara dalam ABRI, namun kini polisi memiliki kewenangannya sendiri yang sudah lepas dari intervensi militer.

"Pasca reformasi hingga saat ini mengalami euforia seolah pemegang kebenaran dalam penegakan hukum. Padahal tupoksi polisi juga menjaga kamtibmas (keamanan dan ketertiban masyarakat)," cetus Bambang.

"Dampak dari euforia itu adalah munculnya arogansi-arogansi. Baik secara institusi yang merembet pada perilaku anggota-anggotanya," tukas dia.

Ketua Harian Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Irjen (Purn) Benny Mamoto menilai bahwa sistem pengawasan melekat juga tepat untuk membenahi pengawasan yang ada di Korps Bhayangkara. Dalam hal ini, atasan akan bertanggung jawab langsung terhadap perbuatan anak buah.

Selain itu, kata dia, kepolisian juga perlu meninggalkan budaya-budaya kekerasan yang ditanamkan sejak dari pendidikan. Pensiunan jenderal bintang dua ini bercerita bahwa kekerasan selama pendidikan memang kerap menjadi pemicu kesewenang-wenangan aparat terhadap masyarakat di kemudian hari.

Dia pun tak menampik bahwa budaya tersebut acapkali terjadi. Meskipun, saat ini hal tersebut sudah mulai dibenahi dari berkurang.

"Saya ikut pendidikan di AKABRI, budaya kekerasan memang ada. Namun seiring berjalannya waktu, saat Polri pisah dari TNI maka budaya kekerasan di pendidikan berangsur berkurang. Tapi tetap masih ada," kata Benny kepada CNNIndonesia.com.

"Apa yang diterima di pendidikan kemudian diterapkan ketika menghadapi masyarakat," imbuhnya.

Dia khawatir, polisi tak segan melampiaskan kekesalannya terhadap masyarakat. Apalagi, saat berhadapan dengan seorang kriminal yang tengah diperiksa.

"Budaya kekerasan harus dihilangkan, baik di internal maupun terhadap masyarakat," jelas dia.

Benny menilai, pendekatan-pendekatan kekerasan dan penyiksaan sebenarnya tak efektif bagi seorang penyidik untuk mendapatkan pengakuan atau keterangan dari tersangka. Hal itu, kata dia, justru membuat institusi menjadi bermasalah.

"Ketika saya bertugas sebagai pemeriksa kasus teror, tidak pernah menggunakan kekerasan fisik maupun verbal. Justru pemeriksaan berjalan lancar dan tersangka mau mengaku dan kooperatif. Ini contoh nyata dalam pemeriksaan tersangka," tandas dia.

(mjo/pris)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2 3
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER