KontraS: 651 Kasus Kekerasan Libatkan Polri Sepanjang Pandemi

CNN Indonesia
Jumat, 02 Jul 2021 01:35 WIB
KontraS menyebut pandemi virus corona menjadi salah satu alasan aparat kepolisian melegalkan tindakan kekerasan kepada masyarakat.
KontraS mencatat 651 dugaan kekerasan melibatkan aparat Polri sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021 di tengah pandemi Covid-19. Ilustrasi (CNN Indonesia/ Yogi Anugrah)
Jakarta, CNN Indonesia --

Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) mencatat 651 dugaan kekerasan melibatkan aparat Polri sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021 di tengah pandemi Covid-19.

"Berdasarkan pemantauan kami pada periode Juni 2020 hingga Mei 2021 ini kami catat setidaknya terjadi 651 tindakan kekerasan yang melibatkan institusi kepolisian," kata Anggota Divisi Riset dan Dokumentasi KontraS Rozy Brilian, Rabu (30/6).

Dari catatan KontraS, dugaan kekerasan tertinggi terjadi di tingkat Polres yakni sebanyak 399 kasus. Sementara di tingkat Polda sebanyak 135 kasus, dan 117 kasus lainnya di tingkat Polsek.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Rozy mengatakan dugaan kekerasan aparat kepolisian tak berhenti sepanjang pandemi Covid-19 terjadi di Indonesia. Justru pandemi menjadi salah satu alasan aparat kepolisian melegalkan tindakan-tindakan tersebut.

"Polres masih jadi aktor dominan dari keseluruhan jumlah kekerasan yang dilakukan institusi kepolisian," ujarnya.

Menurut Rozy, mekanisme pengawasan yang mestinya dilakukan kepolisian terhadap lembaganya di setiap tingkatan justru tak berjalan dengan baik dan efisien sekalipun Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah mengeluarkan aturan baru.

"Kami lihat tidak ada perbaikan signifikan terjadi di konteks pengawasan satuan tingkatan tersebut," katanya.

Polisi menembakan gas air Mata ke massa pendemo Di kawasan MH Thamrin, Jakarta, Selasa, 13 Oktober 2020.Polisi menembakkan gas air Mata ke massa pendemo Di kawasan MH Thamrin, Jakarta, Selasa, 13 Oktober 2020. (CNN Indonesia/Safir Makki)

Mayoritas Penembakan

Lebih lanjut, Rozy mengatakan bentuk kekerasan yang banyak dilakukan aparat kepolisian sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021 adalah kasus penembakan. Dalam satu tahun terakhir ini sebanyak 13 orang meninggal dunia dan 98 orang lainnya terluka akibat aksi penembakan anggota Polri.

"Bentuk kekerasan yang paling banyak dilakukan adalah penembakan. Setidaknya 13 orang tewas dan 98 orang luka-luka," kata Rozy.

Dari semua itu, Rozy mengatakan aparat kepolisian dari tingkat Polres yang paling banyak melalukan aksi penembakan ini. Tercatat sebanyak 250 penembakan dilakukan Polres, sementara Polda sebanyak 59 kali

"Dari banyaknya data yang kami dapat, kami lihat ini disebabkan oleh penggunaan (senjata api) yang tidak sesuai peosedur. Dan tindakan sewenang-wenang oleh aparat," katanya.

Rozy menyebut penggunaan senjata api mestinya sesuai dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2009 tentang Implementasi HAM oleh Polri dan Peraturan Kapolri Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian.

"Minimnya evaluasi penggunaan senjata api di tubuh Polri menyebabkan angka ini konsisten tinggi dari tahun ke tahun," ujarnya.

Selain penembakan, Rozy merinci jenis kekerasan lain yang banyak dilakukan aparat kepolisian. Seperti penangkapan sewenang-wenang, pembubaran paksa, hingga penganiayaan.

Rincian kekerasan kepolisian sepanjang Juni 2020 hingga Mei 2021, yakni 3 kasus kejahatan seksual terhadap masyarakat sipil, 2 kasus pembunuhan, 1 kasus penculikan, 75 kasus penangkapan sewenang-wenang, 58 kasus pembubaran paksa.

Kemudian 12 kasus salah tangkap, 6 kasus tindakan tidak manusiawi, 24 kasus intimidasi, 66 kasus penganiayaan, dan 36 kasus penyiksaan.

Sementara itu, Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengingatkan kepada jajaran anak buahnya untuk dapat menghormati nilai hak asasi manusia (HAM) dalam bertugas di Korps Bhayangkara. Dia mengingatkan hal tersebut dalam momentum puncak HUT ke-75 Bhayangkara atau Polri pada Kamis (1/7) hari ini.

"Profesionalisme penyidik Polri harus dijaga dan dipertahankan dengan tampilan tegas, namun tetap humanis serta menghormati nilai-nilai Pancasila dan Hak Asasi Manusia," kata Listyo dalam keterangan tertulis yang diterima selepas kegiatan upacara HUT ke-75 Bhayangkara yang dihadiri Presiden RI Joko Widodo (Jokowi), Kamis.

Listyo pun mengaku puas dengn pencapaian Korps Bhayangkara pada usianya yang ke-75 ini. Dia mendasari hal tersebut dengan tingkat kepercayaan publik terhadap Polri sebesar 86,5 persen versi survei Alvara Strategi Indonesia yang meningkat dari tahun sebelumnya.

Kemudian, dalam lembaga Charta Politika Indonesia, Polri menduduki peringkat ketiga sebagai lembaga tinggi negara berkinerja paling baik (pada tahun 2018 sampai 2019 Polri menduduki peringkat keempat).

"Peningkatan kepuasan terhadap kinerja dan kepercayaan terhadap Polri ini merupakan kerja keras dari seluruh anggota Polri. Hal ini harus kita syukuri bersama dan mendorong Polri untuk menjadi lebih baik dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat," jelasnya.

Sebelumnya, dalam peringatan HUT Bhayangkara, Jokowi meminta seluruh insan Polri benar-benar presisi dalam menjalankan wewenang penegakan hukum yang dimiliki--termasuk soal penangkapan, penahanan, penggeledahan, hingga penyitaan. Polri, kata Jokowi, bukan hanya tampil tegas dan pandang bulu. Menurutnya, para Bhayangkara juga perlu tampil sebagai pengayom dan pelindung masyarakat.

"Ingat bahwa negara adalah negara Pancasila, negara demokrasi, negara yang menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia," ucap Jokowi dari Istana Kepresidenan, Jakarta, yang disiarkan kanal Youtube Sekretariat Presiden, Kamis (1/7).

(tst/fra)


[Gambas:Video CNN]
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER