Kenapa Pemerintah Buka Vaksin Berbayar Saat Covid Melonjak?
Rencana terbaru Pemerintah RI lewat Kemenkes dan Kementerian BUMN untuk membuka layanan vaksinasi berbayar di tengah lonjakan kasus Covid-19 menuai pro-kontra. Rencana yang mulai dikuak ke publik pada akhir pekan lalu dinilai tidak etis dan melukai masyarakat di tengah pandemi Covid yang kasusnya terus melonjak.
Koalisi Warga untuk Keadilan Akses Kesehatan menilai, rencana pemerintah membuka layanan vaksin berbayar merupakan pelanggaran terhadap hak kesehatan yang dilindungi konstitusi. Langkah dari kementerian tersebut juga dinilai telah menyalahi instruksi Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang pada awal tahun ini telah menegaskan bahwa vaksinasi Covid gratis untuk masyarakat.
Salah satu bagian dari koalisi itu, relawan LaporCovid, Firdaus Ferdiansyah, mengatakan pihaknya menilai rencana vaksin berbayar mengandung tiga masalah utama. Pertama, katanya, vaksin gotong royong berbayar melanggar UU 36/2009 tentang Kesehatan dan UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan.
Kedua, pemerintah menurut dia memanipulasi istilah herd immunity atau kekebalan kelompok atas Covid-19 guna mengambil keuntungan. Ketiga, lanjut dia, pemerintah dinilai telah melakukan praktik regulasi lewat vaksin berbayar. Firdaus menyebut pemerintah tidak konsisten lewat rencana vaksin berbayar.
Vaksin berbayar diatur melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 19 Tahun 2021, di mana pada Pasal 5 ayat 5 menyebutkan pelaksanaan vaksinasi Covid-19 kepada individu/orang perorangan dubebankan pendanaannya kepada yang bersangkutan.
Peraturan tersebut mengubah ketentuan soal vaksinasi lewat Permenkes Nomor 10 Tahun 2021, atau Permenkes Nomor 84 Tahun 2020, yang menjamin bahwa penerima vaksin Covid-19 tidak dipungut biaya atau gratis.
Menurut Firdaus, pengadaan vaksin selama ini menggunakan skema pembelian oleh pemerintah dan donasi negara lain. Artinya, kata dia, uang yang digunakan untuk membeli vaksin merupakan uang rakyat.
"Seharusnya pemerintah memaksimalkan akses dan kemudahan dalam pelaksanaan vaksinasi program," kata dia.
Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Indonesia (UI), Zuliansyah saat dimintai pandangannya terkait rencana vaksin berbayar tersebut mengatakan, "Yang menjadi concern..., skenario planning pemerintah gimana sih untuk program vaksinasi ini?"
Dia mengatakan hal itu perlu menjadi perhatian ketika pemerintah mengumumkan rencana vaksinasi berbayar di tengah program vaksinasi gratis yang tengah dikebut saat ini.
"Ketika pemerintah mengumumkan bahwa vaksin ini semua gratis untuk masyarakat. Pada saat itu apakah pemerintah sudah punya skenario, any cases apa, kemudian metode yang lain seperti berbayar itu," katanya. "Jadi, ini yang perlu diklirkan."
Pasalnya, sambung Zuliansyah, ketika sedari awal pemerintah menggaungkan vaksinasi gratis, masyarakat pun berharap hal serupa. Oleh karena itu, ia menilai, tak heran masyarakat bingung dengan wacana vaksinasi berbayar. Sebab, sejak awal, pelaksanaan vaksinasi Covid-19 seiring instruksi Presiden Jokowi memang dilakukan dengan gratis.
Selanjutnya, pemerintah pun mesti memperjelas individu-individu yang masuk kategori vaksin gratis, dan yang bisa mendapatkan fasilitas vaksin berbayar. Ketegasan itu, sambungnya, sangat diperlukan disosialisasikan kepada masyarakat secara tegas.
"Tentu harus firmed saja, mau digratiskan semua, atau pemerintah mau bikin ada juga skenario yang berbayar kategorinya ini, atau yang gratis kategori masyarakat yang ini," ujarnya.
Skenario-skenario itu, katanya, harus dijelaskan sejernih mungkin ke masyarakat, dan sesuai dengan instruksi presiden serta tak menyalahi beleid. Jikapun harus berbayar, sambungnya, pemerintah harus mengumumkan klaster-klaster serta pelaksanaannya.
"Jadi enggak cuma mengumumkan, 'ada vaksin berbayar, silakan ke klinik yang sudah ditunjuk pemerintah dan sebagainya'," imbuhnya.
Zuliansyah pun memafhumi bahwa setiap kebijakan publik pasti ada dua sisi mata uang--ada yang setuju dan kontra. Namun, sambungnya, pemerintah perlu menjalani langkahnya dengan menyosialisasikan ke masyarakat sesuai skenario-skenario yang dibutuhkan dalam penanganan pandemi.
"Misalnya, pemerintah, asumsinya vaksin gratis, ketersediaan vaksin uckup biaya memadai, lalu, dalam jangka waktu sekian orang bisa divaksin semua misalnya sekian persen," ujar Zuliansyah.
"Atau anggaran terbatas, dan sebagainya. Sehingga perlu dibuat skenario lain," imbuhnya.
PT Kimia Farma Tbk, selaku pihak yang membuka layanan vaksinasi berbayar mulai 12 Juli 2021 belakangan telah menunda rencana penjualan vaksin di jaringan perusahana pelat merah tersebut.
Vaksinasi berbayar semula akan mulai diuji coba per Senin (12/7), dengan mematok harga sekitar Rp400 ribu sekali suntik.
Harga tersebut mencakup harga per dosis dan jasa penyuntikan sekitar. Rinciannya, Rp321.660 untuk sekali dosis dan tarif pelayanan vaksinasi sebesar Rp117.910 per dosis. Masyarakat harus melakukan pendaftaran terlebih dahulu sebelum ikut pelayanan vaksinasi.
DPR Minta Batal
Sejumlah politikus di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pun memunculkan suara. Salah satunya Anggota DPR yang juga Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon. Lewat akun Twitternya pada Senin lalu, Fadli menegaskan, "Vaksin Gotong Royong (berbayar) harusnya dibatalkan, bukan ditunda. Uang membeli vaksin pakai uang rakyat terus dijual lagi ke rakyat."
Senada Fadli, Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD), Abdul Rachman Thaha, pun mengkritik langkah pemerintah yang membuka akses masyarakat umum untuk bisa mendapatkan vaksin Covid-19 secara berbayar di jaringan klinik Kimia Farma. Menurutnya langkah pemerintah mengomersialisasi vaksin Covid-19 aneh karena dilakukan di tengah situasi pandemi Covid-19 yang semakin memburuk di Indonesia.
Dalam keterangannya kemarin, Abdul Rachman menilai pemerintah RI semestinya meniru langkah Malaysia dan Filipina yang kukuh tidak melakukan komersialisasi dan menyatakan bahwa perdagangan vaksin Covid-19 sebagai perbuatan ilegal di mana pelakunya bisa dijatuhi pidana.
Penjelasan jelas pemerintah soal vaksin berbayar di halaman selanjutnya.