'Dissenting Opinion' Hakim: Edhy Tak Minta Uang Ekspor Benur
Anggota hakim Pengadilan Tipikor Jakarta, Suparman Nyompa, menyatakan pendapat berbeda atau dissenting opinion terkait putusan terhadap mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dalam perkara korupsi penetapan izin ekspor benih lobster (benur).
Ia berpendapat Edhy seharusnya dikenakan Pasal 11, bukan Pasal 12 huruf a Undang-undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor). Sebab, unsur-unsur dalam Pasal 12 huruf a tidak terpenuhi sebagaimana fakta persidangan.
"Bahwa dalam persidangan tidak ada bukti dan tidak ada fakta jika terdakwa Edhy Prabowo meminta uang atau memerintahkan tim uji tuntas (due diligence) memperoleh hadiah dari Suharjito [pemilik PT Dua Putera Perkasa Pratama]," ujar Suparman di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (15/7).
Ia menilai kebijakan membuka keran ekspor benur tidak menyisakan masalah. Adapun uang yang diberikan Suharjito diterima oleh wakil ketua tim uji tuntas sekaligus staf khusus Edhy, Safri, untuk kemudian diserahkan kepada sekretaris pribadi Edhy yang bernama Amiril Mukminin.
Suparman menilai tak ada fakta persidangan yang menyebut Edhy memberikan perintah untuk meminta uang dari para eksportir termasuk Suharjito.
"Bahwa jika ada arahan dari terdakwa Edhy Prabowo terhadap bawahannya, baik kepada tim uji tuntas maupun kepada Dirjen tidak lain terdakwa Edhy Prabowo hanya menekankan dan meminta agar setiap permohonan yang masuk untuk budi daya dan ekspor BBL [Benih Bening Lobster] agar tidak dipersulit, tapi justru harus dipermudah," tutur dia.
Edhy dinilai hanya menerbitkan Peraturan Nomor: 12/PERMEN-KP/2020 tanggal 4 Mei 2020 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp) dan Rajungan (Portunus spp) di Wilayah Negara Republik Indonesia yang isinya antara lain mengizinkan dilakukannya budi daya lobster dan ekspor BBL.
Pelaksanaan Permen ini dilakukan oleh tim uji tuntas, direktorat jenderal, dan badan di lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
"Terdakwa tidak ada melakukan sesuatu dalam jabatannya karena adanya pemberian uang dari Suharjito tersebut," imbuh dia.
Oleh karena itu, menurut Suparman, tidak tepat jika Edhy dikenakan Pasal 12 huruf a UU Tipikor.
"Bahwa hakim anggota I berpendapat sesungguhnya terdakwa hanya melanggar ketentuan Pasal 11 UU Tipikor," tandasnya.
Lihat Juga : |
Ancaman pidana Pasal 11 yakni pidana penjara paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Sedangkan ancaman pidana Pasal 12 yakni pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp1 miliar.
Meski ada pendapat berbeda, Majelis Hakim tetap memvonis Edhy dengan pidana lima tahun penjara dan denda Rp400 juta subsider enam bulan kurungan.
Ia juga dihukum membayar uang pengganti senilai Rp9,6 miliar dan US$77 ribu dengan memperhitungkan uang yang telah dikembalikan. Serta pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik selama tiga tahun.
(ryn/psp)