Dinamika politik berjalan begitu cepat. Reaksi keras parlemen atas pemecatan Bimantoro, percepatan Sidang Istimewa, hingga pertemuan di Kebagusan, jadi rangkaian politik yang mengindikasikan kian terkikisnya dukungan bagi Gus Dur.
Opsi terakhir pun diambil. Opsi yang telah diutarakan Gus Dur sejak jauh hari sebelumnya: Dekrit Presiden.
Pada Senin dini hari, 23 Juli 2001, sekitar pukul 01.00 beberapa jam sebelum Sidang Istimewa digelar, dekrit itu dikeluarkan. Dekrit dibacakan oleh juru bicara presiden saat itu, Yahya Staquf di Istana Negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dekrit atau maklumat presiden saat itu adalah:
1. Membekukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
2. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan mengambil tindakan serta menyusun badan untuk menyelenggarakan pemilihan umum dalam waktu satu tahun.
3. Menyelamatkan gerakan reformasi total dari hambatan unsur-unsur Orde Baru, dengan membekukan Partai Golkar sambil menunggu keputusan Mahkamah Agung.
Parlemen tak tinggal diam. Pagi harinya Ketua DPR Akbar Tanjung mengirim surat permintaan fatwa kepada Mahkamah Agung untuk menanggapi dekrit Gus Dur itu dengan tembusan pimpinan MPR dan fraksi-fraksi DPR.
Ketua MA Bagir Manan membalas surat tersebut dengan menyatakan dekrit yang dikeluarkan presiden berlawanan dengan hukum. Akbar lantas membagikan surat fatwa MA tersebut kepada seluruh anggota MPR. Upaya mendongkel Gus Dur, mendapat suntikan tenaga baru.
"Agar respons MA bisa cepat, saya komunikasi dengan Ketua MA Bagir Manan," kata Akbar dalam wawancara khusus dengan CNNIndonesia.com pertengahan Januari 2016 lalu.
Anggota DPR dari fraksi Golkar pada 1999-2004 silam, Priyo Budi Santoso mengklaim tak ada pilihan lain bagi MPR kala itu selain memakzulkan Gus Dur.
Alih-alih jadi senjata, dekrit tersebut terkesan jadi 'peluru hampa'. Priyo menilai keputusan Gus Dur mengeluarkan dekrit dengan membubarkan DPR, MPR, termasuk partainya, sebagai keputusan ceroboh dan permusuhan kepada semua pihak.
"Kalau masuk masalah pribadi, saya termasuk di menit-menit terakhir (Gus Dur), saya ikut ngritik Gus Dur. Tapi kalau suruh milih, tidak setuju untuk dilengserkan. Tapi, itu semua pelatuknya adalah dekrit. Enggak ada pilihan lain," kata Priyo saat diskusi buku Menjerat Gus Dur, Jakarta,7 Januari 2020.
Gus Dur tak hadir pada Sidang Istimewa yang digelar pagi hari setelah dekrit dikeluarkan. Sebaliknya, Wakil Presiden Megawati hadir di SI MPR.
Jalan berbeda yang ditempuh Megawati ini jadi sinyal politik kesiapannya menggantikan Gus Dur. Hal yang benar-benar diwujudkan hari itu juga dalam sidang yang dipimpin oleh Amien Rais.
Menurut Suaedy, pun bila Gus Dur tak mengeluarkan dekrit yang disebut-sebut Priyo jadi pemicu pemakzulan, cucu dari pendiri NU itu tetap akan dilengserkan.
"Situasinya sudah sangat konfrontatif. Saya kira pada saat itu sudah diputuskan untuk menggulingkan Gus Dur," ujar Suaedy.
Sementara Greg Barton, penulis buku biografi Gus Dur menyebut dekrit presiden yang diteken Gus Dur kala itu sejatinya merupakan aksi simbolik. Sebuah pengingat sejarah politik Indonesia.
Ditulis Barton bahwa lewat dekrit itu Gus Dur ingin menggugah perhatian publik akan manuver-manuver politik para politisi Senayan yang dianggapnya tidak sah.
Gus Dur sendiri, kata Barton, telah menyadari dekritnya tak akan mendapat dukungan militer dan polisi. Dengan kata lain, Gus Dur menyadari masanya telah habis, bahkan sebelum ia mengeluarkan dekrit.
"Gus Dur tahu bahwa ia menandatangani surat kematian politiknya sendiri; oleh karena itu ia membacakan dekritnya dengan harapan bahwa dengan begitu ia akan mengundang perhatian orang akan ketidakbsahan tindakan DPR dan MPR terhadapnya," tulis Barton.
(kid/wis)