Wahyu Muryadi masih ingat suatu peristiwa di Istana Merdeka, Jakarta, dua dekade silam, Senin 23 Juli 2001 tepatnya. Kepala Protokoler Istana era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur ini jadi saksi momen-momen terakhir di Istana.
Salah satu momen yang terus diingat sampai saat ini adalah saat Gus Dur keluar hanya mengenakan celana pendek untuk menyapa pendukungnya. Pada hari itu, Gus Dur baru saja dimakzulkan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dari kursi presiden.
Wahyu mengatakan, tidak lama usai Gus Dur dilengserkan, pendukung yang berkumpul di depan Istana makin banyak. Para pendukung berkumpul di depan Istana sejaka beberapa hari sebelum Gus Dur dijatuhkan dari kursi kepresidenan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Namanya macam-macam, ada pasukan berani mati, pembela Gus Dur. Mereka bersama-sama memberikan dukungan untuk Gus Dur yang bukan hanya presiden bagi mereka, tapi juga kiai, yang diyakini tidak melakukan tindak kejahatan," kata Wahyu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Jumat (23/7).
Wahyu mengatakan, para pendukung yakin proses pemakzulan Gus Dur tidak sesuai dengan konstitusi.
Wahyu bercerita, saat itu, Gus Dur sudah meminta pendukungnya untuk tidak datang ke Istana. Gus Dur mengatakan tempat yang tepat untuk melakukan demonstrasi adalah di Gedung DPR/MPR Senayan.
Namun para pendukung Gus Dur ini diadang sehingga tak bisa berdemo di Kawasan DPR/MPR.
"Secara prinsip kan kita tidak ingin ada pertumpahan darah. Sampai akhirnya mereka lama bercokol di (jalan) depan Istana Merdeka" ujarnya.
Wahyu mengatakan, di luar Istana, para pendukung Gus Dur tidak henti-hentinya meneriakkan dukungan. Di sisi lain, ia juga mengaku mendengar kabar bahwa moncong meriam pasukan TNI diarahkan ke Istana. Belum lagi ada kelompok lain yang justru menentang Gus Dur sehingga berpotensi ada gesekan.
Namun meski suasana tegang, di dalam istana justru masih ada kesan santai.
"Seingat saya kami lagi makan malam, seperti biasa. Gus dur orangnya kan sangat santai, hari-hari itu bukan pake kaos oblong, pake kaos kerah waktu itu, saya masih ingat warnanya, pakai celana pendek," ujarnya.
Ia mengatakan ketika tengah makan malam itu, teriakan dukungan dari luar Istana semakin kencang hingga terdengar ke dalam. Gus Dur, kata dia, lalu berniat untuk menemui dan menyapa para pendukungnya.
"Beliau terus kemudian bergegas mau say hi istilahnya, lalu bilang ke ajudan, ingin mau menemui masyarakat di luar itu," ujarnya.
Wahyu menceritakan, ketika itu, terjadi kesalahan komunikasi antara Gus Dur dengan ajudannya, yakni Kolonel Sukirno. Menurut Wahyu, Gus Dur bermaksud untuk ke kamar terlebih dahulu mengganti pakaiannya.
Namun ajudan menafsirkan lain dan menuntun Gus Dur untuk keluar teras istana.
"Maksud Gus Dur itu ya ke kamar dulu, ganti celana, atau pakai sarung gitu, tapi ajudan saat itu, saya ingat yang bimbing Pak Kirno, dituntun. Pak Kirno mungkin segan bertanya mau kemana, dikiranya mau langsung menyambut, padahal maksud Gus Dur ke kamar," ujarnya.
Ia mengatakan, sebelum keluar, beberapa orang terdekat Gus Dur sebenarnya sempat mengarahkan untuk mengganti pakaian. Namun menurutnya, Gus Dur mengatakan tidak perlu lantaran hanya ingin menyapa pendukungnya.
"Enggak usah, wis kadung. Tidak apa apa cuma say hi aja," kata Wahyu menirukan ucapan Gus Dur waktu itu.
Ia mengatakan tidak ada maksud dari Gus Dur untuk melecehkan siapapun dengan memakai celana pendek dan kaos saat menyapa pendukungnya itu.
"Orang kemudian beranggapan Gus Dur kok melecehkan istana, enggak ada maksud sama sekali untuk itu, beliau mau kepraktisan aja, karena salah komunikasi, dikira ke kamar mau ganti, ternyata keluar, ya wis kadung. Itu aja," ujar Wahyu.
Menurutnya, meski hanya ditemui dan disapa beberapa menit, tindakan Gus Dur itu telah menenangkan hati para pendukungnya. Dengan begitu, peristiwa yang tidak diinginkan tidak terjadi.
"Membuat para pendukung langsung tenang dan senang. Tenang mereka dalam artian tidak buat kerusakan apalagi sampai jadi martir, dan senang karena ketemu tokoh idola mereka," ujarnya.