Jakarta, CNN Indonesia --
Guru Besar Universitas Indonesia (UI) Manneke Budiman mengatakan urgensi revisi Statuta UI yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2021 tak jelas. Manneke pun mengungkap sejumlah keganjilan dalam perubahan tersebut.
"Jadi ada yang tidak nyambung antara pernyataan bahwa Statuta perlu diubah dengan alasan-alasan yang dipakai untuk mengubah. Urgensi untuk mengubah tidak jelas atau tidak terbukti," katanya dalam diskusi yang digelar secara daring akhir pekan lalu.
Manneke menyebut Rektor UI, Ari Kuncoro mengajukan permohonan perubahan Statuta UI ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 7 Januari 2020.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perubahan itu diklaim berdasarkan hasil telaah dari Senat Akademik UI terhadap sejumlah norma akademik dan peraturan rektor yang dianggap perlu direvisi.
Padahal, kata Menneke, telaah yang dilakukan Senat Akademik UI itu bukan berkaitan dengan Statuta tetapi norma akademik dan Peraturan Rektor UI yang telah ada sebelumnya.
Menurutnya, Kemendikbud lantas mengundang yakni Eksekutif, Dewan Guru Besar, Majelis Wali Amanat, dan Senat Akademik UU pada 5 Februari. Dalam pertemuan itu, pihak UI diminta segera revisi Statuta yang bisa menjadi model bagi perguruan tinggi negeri lain.
"Setelah itu, Dewan Guru Besar (DGB) langsung melakukan rapat usulan revisi Statuta. Tak lama DGB dan Senat Akademik mengajukan draf masing-masing," ujarnya.
Keganjilan, kata Manneke, berlanjut pada 28 Februari 2020. Gabungan empat organ mulai rapat membahas draf usulan revisi. Anehnya eksekutif dan Majelis Wali Amanat tidak mengajukan draf perubahan.
Dalam rapat pembahasan itu, hanya draf milik Dewan Guru Besar dan Senat Akademik yang dibahas. Kemudian SK rektor terbit untuk Tim Revisi Statuta pada 27 Maret 2020. Masa tugas tim tersebut hanya dua bulan atau sampai 29 Mei 2020.
"Ini tim harus kerja cepat di bawah tekanan," katanya.
Lebih lanjut, Manneke menyebut Tim Revisi Statuta bekerja melewati batas waktu. Rektor UI pun kembali memperpanjang kerja tim tersebut hingga 10 Oktober 2020.
"Tapi tiba-tiba pada 11 September MWA berkirim ke rektor usulan MWA berkaitan dengan revisi Statuta yang tak mereka tembuskan ke dua organ lain yang ada di dalam tim," ujarnya.
Baca halaman selanjutnya...
Manneke mengatakan MWA tiba-tiba kembali mengajukan usulan perubahan Statuta UI saat rapat dengan Kemendibud pada 30 September. Draf revisi Statuta UI yang diajukan MWA pun tak pernah dibahas bersama empat organ lainnya.
"Yang diajukan ini salah satunya berkaitan dengan rangkap jabatan rektor," katanya.
Menurutnya, terjadi perdebatan bahkan belum ada kesepakatan atas draf revisi Statuta UI yang diajukan tersebut. Hingga akhirnya Kemendikbud mengundang kembali untuk melakukan rapat lanjutan.
Undangan rapat diterima dan disebut akan digelar pada 7, 14, dan 21 Oktober. Namun, tak berapa lama undangan rapat dengan Kemendikbud ini dibatalkan sepihak.
"Namun terjadi rapat-rapat yang hanya dihadiri eksekutif dan MWA tanpa ada wakil dari DGB dan SA," katanya.
Setelah itu, kata Manneke, PP Statua UI yang baru resmi diterbitkan pada 2 Juli 2021. Namun, dewan guru besar baru menerima PP secara resmi pada 19 Juli 2021.
"Dan tentu sejak awal terlihat konsisten adanya itikad dan agenda tidak baik yang mencemari keseluruhan proses revisi," kata dia.
Bantah Dibuat Mendadak
Sementara itu, Anggota Majelis Wali Amanat Universitas Indonesia (UI) Bambang Brodjonegoro membantah PP 75/2021 tentang Statuta UI dibuat mendadak. Bambang menyebut usulan revisi muncul sejak 2019 dan dibahas mulai 2021.
Menurutnya, tidak benar jika aturan tersebut dibuat mendadak untuk mengakomodir Rektor Ari Kuncoro rangkap jabatan. Salah satu poin revisi Statuta UI ini terkait rangkap jabatan rektor UI.
"Yang harus saya tekankan, PP ini tidak dibuat mendadak karena saya juga tahu sebagai mantan pejabat di pemerintah 10 tahun, bikin PP tidak ada yang cepat," kata Bambang akhir pekan lalu.
Bambang menyebut persoalan yang muncul terkait PP Statuta UI hanya pada waktu bukan pada proses pembuatan. Menurutnya, masalah muncul karena PP 75/2021 itu keluar ketika masalah rangkap jabatan rektor UI menuai kritik.
"Memang ini masalah timing ketika PP keluar terjadi semacam ada unsur keributan di medsos yang melibatkan rektor UI," ujarnya.
Lebih lanjut, mantan Kepala Bappenas itu menyebut sejak awal MWA tak aktif dalam penyusunan draf revisi Statuta UI. MWA, kata Bambang, hanya mengawasi proses perubahan.
Menurutnya, peran MWA berbeda dengan organ lain yang lebih operasional dan memahami bidangnya masing-masing. MWA hanya memiliki tugas pengawasan dan tata kelola UI.
"Sehingga usulan kami (MWA) praktis tidak terlalu banyak," katanya.
Bambang pun berharap perubahan yang telah terjadi dalam Statuta UI ini tidak lagi diributkan. Menurutnya, perubahan Satuta UI tersebut untuk mengejar ketertinggalan dari kampus negeri lain, seperti Universitas Gadjah Mada (UGM).
"Ini alasan kita bahwa kita juga harus memperbaiki secara internal. Dan kami tentunya dengan masukan dari empat organ berusaha agar Statuta UI ini mendorong percepatan dari perbaikan itu," ujarnya.