Direktur Eksekutif Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia (Puskapol) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana menyatakan Kudatuli berpengaruh terhadap titik balik PDI yang selama Orde Baru hanya mendapatkan suara buncit.
Gejolak politik kurun 90-an, di mana timbul gerakan perlawanan terhadap Orde Baru terus bermunculan. PDIP jadi salah satu wadah bernaung bagi kelompok oposisi dan gerakan masyarakat yang masih tercerai berai. Mereka semakin terkonsolidasi dan menemukan momentum saat tragedi Kudatuli.
"Jadi peristiwa itu adalah simbol perlawanan dari kelompok kritis waktu itu. PDI itu adalah ikon kritis selain kelompok oposisi yang lain," kata Aditya saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (26/7) malam.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasca-Soeharto lengser, partai politik bermunculan sementara Golkar menjadi sasaran kemarahan publik. Suara partai beringin itu anjlok.
Saat itu, meskipun muncul sederet partai yang cukup menonjol seperti PAN yang didirikan Amien Rais dan PKB yang didirikan Gus Dur, PDIP merupakan partai yang terkuat. Sebab, PDIP merupakan partai lama dan terorganisir dengan baik.
"Jadi langsung terkonsolidasi, barisannya langsung rapi," kata Aditya.
Sebagaimana Djarot, Aditya juga menyebut bahwa PDIP banyak diisi oleh kalangan marjinal dan disebut sebagai partai orang kampung.
Mereka menggunakan jargon 'Partai Wong Cilik' dan menjadi representasi kelompok pinggiran.
"Yang ada di dalam isinya bukan orang-orang yang berpendidikan," jelas Aditya.
Namun peristiwa Kudatuli bukan satu-satunya faktor kebangkitan PDIP. Aditya menyebut faktor lainnya adalah kemampuan PDIP, dalam hal ini Megawati, mengorganisir dan menjaga basis pendukungnya.
Lewat hal itu PDIP berhasil memenangi pemilu. Namun, kata Aditya, para wakil PDIP melempem ketika masuk parlemen. Hal ini pula yang menjelaskan jatuh bangun PDIP, terutama periode 2004-2009.
"Ketika masuk ke jalur kekuasaan, jalur legislatif bikin kebijakan itu melempem semua. Itu yang kemudian, oh PDIP kok begitu?" ujar Aditya.
Menurut Aditya, PDIP lantas membenahi diri ketika mereka menjadi oposisi selama masa kepemimpinan Presiden SBY.
Mereka belajar bagaimana tata cara menjadi eksekutif dan berargumen saat mendorong kebijakan.
"Istilahnya jadi pinteran lah," jelasnya.
Mengenai kejayaan PDIP yang terus berlangsung hingga hari ini, Aditya menyebut hal itu disebabkan beberapa faktor.
PDIP, menurut Aditya, memiliki jejaring pendukung yang sudah ada sejak kurun tahun 1955. Mereka merupakan kelompok nasionalis pendukung Soekarno.
Hal ini bisa dilihat dari beberapa daerah yang menjadi kantong pendukung tetap PDI P, seperti Jawa Tengah, Sulawesi Utara, dan Bali.
"Itu enggak bisa diutak-atik. Jadi relatif itu sudah terpetakan, sudah sangat kuat dan cukup panjang," ujar Aditya.
Selain itu, menurut Aditya, PDIP juga berhasil menciptakan figur publik selain Megawati. Keberadaan figur ini menjadi faktor penting selain mesin politik.
Mereka berasal dari DPR ataupun pemimpin daerah dan berhasil mengerek suara.
"Itu memang yang harus diciptakan oleh partai. Dan PDIP memang arahnya sudah ke sana," ujarnya.
Meski demikian, kata Aditya, keberadaan figur Sukarno dan pewarisnya, Megawati, menjadi faktor yang tidak bisa dilepaskan dari keberhasilan PDIP.
Menurut Aditya, Megawati menjadi figur sentral. Meskipun beberapa tokoh senior seperti Kwik Kian Gie, Arifin Panigoro, dan Laksamana Sukardi hengkang, mereka tidak bisa menandingi Megawati.
Pengaruh figur Megawati ini telah Aditya konfirmasi dalam sejumlah penelitiannya. Di Manado, misalnya, Aditya mendapatkan pernyataan bahwa soliditas PDIP bergantung pada sosok Megawati.
"Jadi PDIP tanpa Megawati itu tentu akan beda cerita. Kesolidan organisasi itu ada di figur," terang Aditya.
Meski demikian, pengaruh dan keberadaan Megawati juga menjadi PR bagi PDIP. Aditya mengingatkan setiap sosok memiliki batas usia.
Sementara, hingga saat ini belum ada sosok yang dinilai bisa menggantikan Megawati.
"Itu belum ada yang bisa jawab kecuali Megawati sendiri yang maunya bagaimana," kata Aditya.
(iam/wis)