Pakar Kritik Kemauan Politik Terkait Kematian Tanpa Probable
Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo belum masuknya kasus probable dalam data kematian Covid-19 terkait dengan keinginan untuk memberi kesan penurunan kasus.
"Harusnya memang [kasus kematian probable] dimasukkan dalam kasus kematian harian. Tapi itu kan soal kemauan politik, karena pemerintah inginnya seolah mereka berhasil mengendalikan kasus," kata Windhu saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (27/7).
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sendiri memasukkan kasus kematian pada pasien konfirmasi positif, suspek, atau probable, sebagai bagian data kasus kematian harian terkait Covid-19.
Namun, Pemerintah sejauh ini cuma mengakui kasus terkonfirmasi positif dalam data kematian.
Menurut Windhu, pemerintah takut akan kebenaran kasus kematian Covid-19 di Indonesia diketahui dunia. Jika kasus kematian probable Covid-19 masuk dalam data harian, ia menyebut angkanya akan jauh lebih banyak dari saat ini.
Kondisi itu dinilai akan mencoreng catatan penanganan pandemi pemerintah Indonesia.
"Tapi pemerintah itu malah mengecilkan kasus, padahal ya tidak apa-apa dikatakan jelek oleh negara lain asal betul ditangani kan. Tapi kita ini malah senang dengan yang palsu-palsu," ucapnya.
Windhu mengatakan, catatan kasus kematian Covid-19 yang sesuai dengan kondisi di lapangan akan menunjukkan bagaimana sebenarnya kondisi penanganan pandemi di Indonesia. Dengan mengetahui kondisi di lapangan, pemerintah seharusnya dapat membuat kebijakan penanganan pandemi Covid-19 yang lebih baik.
"Semakin terbuka data semakin baik untuk menentukan kebijakan penanganan pandemi ini, jadi berbasis data dan saintifik, bukan ekonomi," tutur Windhu.
Senada, Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra meminta pemerintah memasukkan data kematian dari kasus probable Covid-19 ke pencatatan kasus kematian harian.
"Semua harus terekam, baik itu kematian pasien positif Covid-19, atau pasien yang masih berstatus probable," kata Hermawan saat dihubungi CNNIndonesia.com, Selasa (27/7).
Menurut Hermawan, kasus kematian pada pasien probable Covid-19 kemungkinan lebih tinggi daripada laporan kasus kematian harian.
Sebab, banyak kasus positif diketahui berdasarkan pemeriksaan mandiri yang kemungkinan tidak masuk data testing, serta ada sengkarut data di daerah.
"Apalagi kalau dia hasil tesnya negatif dan percaya saja dengan antigen, kemudian tetap bepergian, dan terpapar virus entah di mana, tiba-tiba positif bergejala dan memburuk hingga meninggal. Dia masuk probable Covid-19 yang meninggal, harusnya tetap dilaporkan," ucap Hermawan.
"Proses verifikasi data di tingkat kabupaten kota masih rumit karena tenaganya, SDM, laboratorium, tidak berjalan baik. Jadi terkadang ada gap yang tinggi," lanjut Hermawan.
Masalah sengkarut data kematian Covid-19 kembali muncul setelah laporan data dari LaporCovid-19 menunjukkan ada gap dalam kasus kematian di pusat dan daerah mencapai 20.000 kasus.
Gap kasus kematian salah satunya terjadi di Surabaya. Berdasarkan data Pemprov Jatim, kasus kematian Covid-19 di Surabaya sejak 1-25 Juli sebanyak 207 kasus. Namun menurut Pemkot Surabaya, data kematian 1-16 Juli saja sudah mencapai 1.910 kasus.
Merespons gap data kasus kematian, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi mengatakan bahwa ada perbedaan pencatatan data antara pusat dan daerah.
Pemerintah kabupaten/kota, katanya, kemungkinan ikut mencatat kasus probable. Namun pemerintah pusat hanya mencatat kasus terkonfirmasi positif. Selain itu ada masalah input data terbaru di daerah.
"Pemerintah pusat memasukkan data kematian konfirmasi positif Covid-19 untuk memastikan validitas data," kata Nadia.
Namun, ia belum merespons soal usulan untuk mengakomodasi kasus kematian suspek dan probable sebagai kematian akibat Covid-19.
(mln/khr/ain)