Indra menyebut sejak awal ayahnya tak percaya Covid-19 karena sering membaca tulisan-tulisan di media sosial.
Misalnya, di hari kedua usai dinyatakan positif Corona, Nuryaman masih membaca broadcast di grup aplikasi percakapan yang berisi pendapat seorang dokter perempuan yang menyebutkan bahwa "Mati itu bukan karena virus, tapi karena interaksi obat".
Sebelumnya, seorang tenaga kesehatan dr. Lois, lewat acara talkshow Hotman Paris menyatakan tak percaya Covid-19. Menurutnya, kematian terkait Corona lebih disebabkan interaksi obat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lois kemudian ditetapkan sebagai tersangka kasus UU ITE, dan mengakui opininya tak berdasarkan riset.
Tak cuma soal obat, lanjut Indra, Nuryaman juga enggan mengikuti vaksinasi lantaran percaya informasi bahwa vaksin Covid-19 mengandung babi.
"MUI sudah jelas bilang kalau vaksin itu halal, Pak," ucap Indra, yang kemudian dibalas ayahnya dengan kalimat, "Takut, tuh, sama Allah, jangan sama virus".
"Kalau sudah kayak gitu, kan bingung juga mau bilangin kayak gimana lagi," ujar Indra.
Saat dirawat di rumah, kondisi Nuryaman semakin berat. Saturasi sempat menyentuh angka 80. Oksigen pun sudah dihabiskan. Rabu (14/7), ia dibawa ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) rumah sakit di dekat rumahnya.
Namun, Nuryaman terus mengalami perburukan kondisi dan tak tertolong lagi meski sudah masuk ruang isolasi.
"Jempol sekarang udah bisa membunuh hanya dengan share berita hoaks. Ayah saya memang meninggal karena Corona, lalu komorbid diabetes jelas tambah membahayakan. Cuma faktor terbesarnya jelas hoaks ini yang membunuh ayah saya," cetus Indra.
Diketahui, sejumlah hoaks soal vaksin dan pengobatan Covid-19 ramai tersebar di grup percakapan Whatsapp dan media sosial lainnya.
Dikutip dari kanal Hoax Buster di situs covid-19.go.id, kabar-kabar bohong itu di antaranya adalah bertajuk "BREAKING NEWS: Semua orang yang divaksinasi akan mati dalam 2 tahun" dengan mengklaim berdasarkan keterangan "ahli virologi top dan Pemenang Hadiah Nobel Luc Montagnier".
Selain itu, hoaks "SUDAH SAATNYA AKHIRI DRAMA SINETRON COVID'19.(CORONA)" yang mengklaim Covid-19 tidak mematikan; Vaksin Covid-19 Mengandung Microchip Magnetik, hingga membuat logam bisa menempel di titik suntikan vaksin.
![]() |
Ada pula soal klaim pernyataan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh bahwa vaksin Corona haram karena lebih banyak mudharatnya.
Berdasarkan data Kemenkes, per 26 Juli, jumlah lansia yang telah divaksin mencapai 4.780.438 orang untuk dosis pertama (22,18 persen dari target) dan 3.073.295 orang untuk dosis kedua (14,26 persen dari target).
Juru Bicara Satgas Penanganan Covid-19 Wiku Adisasmito menyebut hoaks menghambat penanganan pandemi.
"Menyebarkan informasi yang belum dapat diverifikasi sama saja dengan menyebarkan berita bohong atau hoax, dan ini tentunya akan menghambat upaya pemerintah dalam menangani pandemi Covid-19 di Indonesia," ujar dia, Jumat (28/5).
Senada, Juru Bicara Vaksinasi Covid-19 Kemenkes Siti Nadia Tarmizi menyatakan hoaks di media sosial sangat berbahaya terkait penanganan pandemi.
"Sudah banyak akses yang memudahkan kita untuk mengecek kebenaran informasi yang kita terima. Jadi jangan langsung percaya begitu saja dengan informasi yang beredar, khususnya di media sosial," ujarnya.
Dewan Pakar Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat (IAKMI) Hermawan Saputra juga meminta masyarakat benar-benar menyaring informasi dengan mengeceknya ke sumber resmi. Pasalnya, Covid-19 itu nyata dan masih ada di sekitar kita.
"Kemampuan kita memverifikasi dari sumber resmi, itu yang akan memudahkan kita juga mempertanggungjawabkan apa yang menjadi materi atau bahan dari diskusi," ungkapnya.
"Kita harus sadar, Covid-19 ini masih ada di sekitar kita. Kita harus sadar bahwa kenaikan kematian dan kesakitan masih berlangsung di sekitar kita. Maka Covid-19 ini walaupun tidak kasat mata penyebabnya, tapi dia nyata," tandasnya.
(fey/arh)