Mantan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menilai pemerintah pusat kerap tak konsisten karena sering mengganti istilah pembatasan untuk menekan angka Penularan virus corona (Covid-19) selama ini.
Ia menegaskan bahwa tak ada satu pun negara-negara di dunia kecuali Indonesia yang kerap mengganti-ganti istilah demi menghentikan penularan kasus corona.
"Di pusat juga mencla-mencle, cuma ganti istilah doang kok. PSBB, PSBB Transisi, Ketat, PPKM Mikro, PPKM Darurat. Saya aneh di seluruh dunia ada gak sih yang selesaikan kasus krisis dengan ganti istilah doang? Mohon maaf enggak ada," kata Rizal saat menjadi pembicara di kanal YouTube GeloraTv, Rabu (28/7).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terhitung sudah lebih dari lima kali pemerintah menggunakan istilah baru dalam melakukan pembatasan sosial. Terbaru, pemerintah mengganti istilah Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat menjadi PPKM Level 4.
Rizal menegaskan bahwa satu-satunya cara negara-negara di dunia mengendalikan virus corona yakni dengan menerapkan lockdown.
Ia menyatakan banyak negara menerapkan kebijakan lockdown bila kasus penularan mulai meninggi. Sebaliknya, apabila sudah menurun, negara-negara tersebut baru membuka lockdown secara terbatas.
"Di New Zealand cuma 8, tapi di-lockdown kok. Karena kalau dibiarin bisa naik eksponensial. Jadi pas kecil di-lockdown," kata dia.
Melihat hal itu, Rizal menilai pemerintah kurang tegas untuk menekan laju penularan. Menurutnya, pemerintah masih takut menghadapi dampak ekonomi yang lebih luas bila lockdown ditetapkan.
Ia menyadari bahwa penerapan lockdown pasti memiliki dampak yang luas ke seluruh sektor. Namun, peran pemerintah harus hadir dan mengisi apabila kebijakan tersebut diambil.
"Kalau kita lockdown pasti semua kena. Tapi semua rakyat kalau dikasih obat, dikasih makan [oleh pemerintah] enggak ngeluh kok, setuju untuk lockdown," kata dia.
Di tempat yang sama, Ketua Umum Partai Gelora Anis Matta menilai kondisi masyarakat Indonesia saat pandemi kini berada di 'lampu kuning' menuju krisis sosial.
Tanda-tanda itu terlihat ketika banyak pemutusan hubungan kerja secara besar-besaran belakangan ini. Sehingga membuat angka pengangguran dan kemiskinan makin meningkat tajam.
"Survei internal yang kita lakukan suasana publik ini dipenuhi ketakutan, kemarahan dan frustasi. Rute emosional ini bisa berwujud sebagai amuk. Jadi secara psikologis situasi ini sudah di lampu kuning menuju krisis sosial," kata Anis.