Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Zubairi Djoerban menyebut sejumlah peneliti khawatir mutasi virus SARS-CoV-2 varian AY.1 alias varian delta plus mampu menurunkan bahkan membuat obat antibodi monoklonal untuk pasien terpapar virus corona (covid-19) tidak lagi mempan.
Obat anti-monoklonal untuk covid-19 yang digunakan di Indonesia sejauh ini adalah Actemra (tocilizumab). Zubairi juga menyebut sejauh ini peneliti menempatkan varian AY.1 tak jauh beda dengan B1617.2 atau varian delta sebelumnya yang telah teridentifikasi di Indonesia dan sejumlah negara.
Kementerian Kesehatan per 29 Juli mencatat sudah ada 948 varian delta di Indonesia. Tiga di antaranya merupakan varian delta plus, dua ditemukan di provinsi Jambi dan satu kasus lagi di Kabupaten Mamuju, Sulawesi Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi varian delta plus ini dikhawatirkan nanti pasien-pasien yang diobati dengan obat antibodi monoklonal ini bisa tidak berhasil," kata Zubairi melalui pesan singkat kepada CNNIndonesia.com, Sabtu (31/7).
Zubairi juga menyebut, varian delta plus kemungkinan juga memiliki sifat mirip dengan varian delta sebelumnya. Beberapa peneliti memiliki hipotesis bahwa varian delta B1617.2 memiliki empat sifat yang menjadi kekhawatiran dunia.
Varian delta disebut memiliki kemampuan penularannya yang lebih cepat dan agresif, berpotensi lolos dari diagnosis tes PCR, menimbulkan gejala klinis yang tidak biasa, hingga kemungkinan berpotensi mampu meloloskan diri dari antibodi pascvaksinasi maupun antibodi para penyintas covid-19.
"Contoh paling gampang, Amerika itu kan yang sudah divaksinasi lebih dari 50 persen. Terus kasusnya turun drastis, terus sekarang naik lagi. Jadi sekarang jumlah kasus baru di Amerika itu dalam seminggu terakhir ini menempati posisi pertama," kata dia.
Namun demikian, Zubairi menegaskan bahwa hingga saat ini keempat kondisi 'berbahaya' itu masih dalam bentuk penelitian sehingga belum ada bukti cukup kuat yang menunjukkan efek dari varian delta. Pun untuk varian AY.1 atau delta plus juga masih minim data dan kasus untuk dianalisis.
Konsorsium genom Covid-19 India menjelaskan kasus AY.1 sebagian besar dilaporkan berasal dari sembilan negara di Eropa, Asia, dan Amerika. Keduanya dibedakan mutasi K417N pada protein Spike yang dimiliki varian delta plus
"WHO menyampaikan bahwa varian delta plus masih jarang ditemukan, dan masih belum jelas berbahaya atau tidak, mudah menular atau tidak, mampu menembus antibodi pascavaksinasi atau tidak, belum tahu," jelas Zubairi.
Adapun untuk langkah penanganan mencegah berkembangnya varian delta plus di Indonesia. Zubairi kembali mewanti-wanti bahwa pada prinsipnya virus bukanlah makhluk hidup, sehingga virus hanya dapat memperbanyak diri pada inang yang hidup, yakni manusia.
Sehingga, upaya jitu untuk menekan penularan dan terciptanya varian baru adalah dengan membatasi mobilitas warga. Untuk itu, Zubairi meminta agar implementasi Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Level 4 benar-benar dipatuhi pemerintah dan masyarakat.
"Jadi harus PPKM diperketat banget, dan jangan lupa testing-nya lebih banyak jangan dikurangi, demikian pula waktu contact tracing juga," ujarnya.
Zubairi juga meminta agar pemerintah mempersiapkan strategi mitigasi di hilir secara dini agar tingkat keterisian tempat tidur atau bed occupancy rate (BOR) rumah sakit rujukan covid-19 tidak overload, sehingga menyebabkan pasien telat tertolong dan berujung meninggal dunia.
(khr/ain)