Kesulitan tak berhenti di situ. Rina berkata ada anak Baha'i di Jakarta, periode 2000-2010, hampir tak lulus karena status keagamaannya. Anak itu pun akhirnya harus pindah sekolah.
"Kadang guru agamanya ganti, kadang kepala sekolahnya ganti. Memang keadaan di Indonesia bahwa tidak ada perundangan yang mengatur agama di luar enam ini sehingga perubahan struktur administrasi sekolah saja bisa berakibat anak Baha'i dipertanyakan lagi," ucap dia.
Ironi dunia pendidikan itu yang mengetuk pintu hati Gus Dur. Dalam tulisan berjudul "Negara Hukum ataukah Kekuasaan", Gus Dur berkata pencabutan Keputusan Presiden Nomor 264 Tahun 1962 dilakukan usai anak-anak Baha'i dilarang ujian SMP di Pati, Jawa Tengah.
Warga Baha'i bak mendapat secercah harapan pada 2014. Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menyatakan Baha'i sebagai agama. Bukan aliran sesat.
Pernyataan itu dibuat menyusul pertanyaan Kementerian Dalam Negeri saat mengurus status kependudukan. Lukman mengirim surat resmi ke Kemendagri perihal status para umat Baha'i.
Surat Lukman jadi tonggak sejarah keberadaan Baha'i. Rina menyebut diskriminasi perlahan memudar setelah kejadian itu. Pernyataan Lukman pun jadi sandaran Baha'i saat menghadapi konflik di daerah.
"Ada (umat Baha'i) yang mendatangi seperti kantor-kantor Kemenag cabang dengan membawa dokumen-dokumen yang Baha'i miliki, pernyataan Lukman Hakim, dan sebagainya," ucap Rina.
Meski begitu, impian Baha'i belum terwujud sepenuhnya. Mereka masih mendambakan hidup sebagai warga negara Indonesia seutuhnya. Tanpa diskriminasi. Tanpa terhalang administrasi.
"Perjuangan kami saat ini adalah lebih membuka dialog dengan semua pihak termasuk pemerintah, tentang bagaimana semua masyarakat Indonesia, termasuk Baha'i dan juga kelompok-kelompok lain yang belum mendapatkan hak sipil, mendapatkan pelayanan sipil," kata Rina mewakili umat Baha'i.
Direktur Paritas Institute Penrad Siagian menilai ucapan selamat hari raya dari kepada umat Baha'i tak cukup. Ia khawatir diskriminasi akan terus berlangsung jika pemerintah tak melakukan langkah lanjutan.
"Ini harus diteruskan pada perlindungan pelayanan publik terhadap berbagai kelompok agama, termasuk Baha'i dan lain-lain, yang selama ini mengalami diskriminasi," ujar Penrad pada diskusi daring di kanal Youtube Yayasan LBH Indonesia, Jumat (30/7).
Penrad menyarankan Kemenag untuk mulai mengedukasi para pelayan publik. Dengan begitu, aparat negara punya perspektif mengayomi semua warga negara tanpa memandang agama.
Selain itu, pemerintah perlu mengkaji ulang sejumlah aturan diskriminatif yang sering menjadikan minoritas sebagai korban. Ia juga menyoroti perundang-undangan yang masih mengotak-ngotakkan agama berdasarkan pengakuan negara.
"Kalau tidak, pernyataan-pernyataan, ucapan selamat ini, malah akan jadi trigger, memancing kelompok-kelompok intoleran melakukan tindak kekerasan dan intoleransi," tutur Penrad.
(bmw)