Kemudian, Amir menjabat Menteri Pertahanan merangkap Wakil Perdana Menteri. Kecakapan dan kecerdasan Amir, menurut Andi, menjadi faktor ia bisa dipercaya untuk mengambil bagian dalam kabinet.
"Kita lihat pas revolusi Indonesia muncul. Itu menarik. Saya kira banyak orang menyukai dia [Amir]. Pertama dia masih muda, umur 30-an, dan dia sangat enerjik diakui kepemimpinannya oleh pemuda. Sehingga Sukarno, Hatta, dan Sjahrir menganggap penting membawa Amir dalam pemerintahan," ucap Andi Achdian, Sejarawan Universitas Nasional.
Lihat Juga : |
Semasa menjabat Perdana Menteri, Amir disibukkan dengan pelbagai polemik. Satu di antaranya terkait dengan ambisi Belanda yang masih ingin kembali menguasai Indonesia. Peristiwa penting ketika itu adalah Perjanjian Renville pada Januari 1948 yang menjadi latar belakang kejatuhan Amir.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Perjanjian Renville adalah perjanjian antara Republik Indonesia dengan Belanda akibat sengketa kedaulatan Indonesia. Perjanjian dianggap merugikan bangsa Indonesia karena berdampak pada penarikan pasukan tentara di sejumlah wilayah yang tak mau dilepas Belanda sebelum terbentuk Republik Indonesia Serikat.
Belanda menguasai wilayah-wilayah penghasil pangan dan sumber daya alam. Wilayah Indonesia terkungkung wilayah sengketa yang dikuasai Belanda, sekaligus mencegah masuknya pangan, sandang, dan senjata ke wilayah Indonesia. Indonesia mengalami blokade ekonomi yang diterapkan Belanda.
Kesepakatan dalam perjanjian tersebut dianggap merugikan kedudukan Indonesia. Banyak pihak termasuk partai-partai pendukung seperti Masyumi dan PNI mengutuk keras Amir selaku ketua delegasi. Sukarno pun meminta Amir meletakkan jabatan.
Amir sejak itu memilih jadi oposisi di masa Kabinet Hatta. Front Demokrasi Rakyat (FDR) yang berdiri dengan Amir menjadi salah satu pentolannya menentang keras kabinet Hatta.
FDR merupakan gabungan dari Partai Sosialis, Pemuda Sosialis Indonesia (Pesindo), Partai Buruh, PKI, Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI), dan Barisan Tani Indonesia (BTI). Hampir seluruhnya adalah organ berpaham kiri.
Mereka menuntut agar kesepakatan Renville dibatalkan hingga menghentikan pelbagai perundingan dengan Belanda.
Aksi FDR semakin berkembang seiring kembalinya tokoh PKI, Musso, dari Moskow, Uni Soviet, pada Agustus 1948. Satu bulan berikutnya, Musso membentuk politbiro PKI di mana Amir ditempatkan pada bagian pertahanan.
FDR diubah menjadi PKI. Lalu melancarkan pemberontakan dan berhasil menguasai sejumlah wilayah seperti Madiun, Kediri, Purwodadi, Ponorogo, Blitar, dan Nganjuk. Di Madiun, mereka memproklamasikan 'Soviet Republik Indonesia'.
Pemerintah Indonesia lantas mengambil tindakan tegas dengan menggelar operasi militer dengan sasaran utama yakni Madiun, Purwodadi, dan Pacitan. Operasi militer membuat posisi PKI di Madiun semakin terdesak. Kondisi semakin sulit ketika Musso ditembak mati pada Oktober 1948.
Lihat Juga : |
Kelompok Amir hanya dapat bertahan sampai 29 November 1948. Mereka sempat mengembara mengitari Gunung Wilis dan Gunung Lawu. Persembunyian Amir dan beberapa orang lainnya di Desa Klambu, Grobogan, terendus dan pada akhirnya mereka menyerah kepada Pasukan Kala Hitam yang dipimpin Kemal Idris.
Amir sudah susah payah, kurus, dan pincang. Ia menderita disentri.
Harry Poeze, dalam bukunya berjudul Madiun 1945, menggambarkan mantan perdana menteri itu hanya memakai piyama, sarung, dan tak bersepatu saat tertangkap. Pipa cangklong yang biasa tak terpisahkan darinya, absen.
Dia dibawa ke Kudus untuk kemudian berlanjut ke Yogyakarta dengan kereta khusus. Amir sempat diberikan buku Romeo and Juliet karya William Shakespeare oleh Kolonel Soeharto yang bertugas menjaganya.
Sesampainya di Yogyakarta, Amir, Soeripno, dan Hardjono ditahan di penjara Benteng lalu dibawa ke Solo.
Lantas pada tengah malam pada 19 Desember 1948 tepatnya di Desa Ngalihan, Karanganyar, Solo, 20 orang penduduk Desa Karangmojo menggali lubang 1,7 meter atas perintah tentara.
Lubang itu disiapkan untuk Amir, Maruto Darusman, Suripno, Oey Gee Hwat, Sardjono, Harjono, Sukarno, Djokosujono, Katamhadi, Ronomarsono, dan D. Mangku.
Buku Madiun 1948 PKI Bergerak gubahan Harry A. Poeze menuturkan percakapan singkat menjelang Amir dkk dieksekusi.
Mulanya, seorang letnan tentara menerangkan adanya surat perintah Gubernur Militer Gatot Subroto mengenai eksekusi mati bagi 11 orang tersebut.
"Apakah saudara sudah mengikhlaskan saya dan kawan-kawan saya?" tanya Amir.
"Saya tinggal tunduk perintah," balas letnan.
"Apakah saudara sudah memikirkan yang lebih jernih?" ujar Amir lagi.
"Tidak usah banyak bicara," kata letnan.
"Saya tidak menyalahkan saudara, tetapi dengan ini negara yang rugi," timpal Djokosudjono.
Letnan memerintahkan anak buahnya dalam regu tembak untuk mulai mengisi bedil.
Amir lantas menghampiri sang letnan. Sambil menepuk badan letnan ia berkata, "beri kami waktu untuk bernyanyi sebentar".
Letnan memenuhi permintaan tersebut. Sebelum bernyanyi, mereka menulis surat atas usul yang dilontarkan kali pertama oleh Suripno.
Kemudian, Amir dkk mengumandangkan lagu Indonesia Raya dan Internasionale, lagu kaum buruh sedunia. Setelah selesai bernyanyi, Amir berseru: Bersatulah kaum buruh seluruh dunia! Aku mati untukmu!
Kemudian, mereka ditembak satu per satu. Dimulai dari Amir.
(ryn/bmw/gil)