Sutan Sjahrir tahu Jepang akan segera menyerah kepada Sekutu pada Agustus 1945. Dia tahu Jepang sudah lumpuh tak berdaya dan tidak bisa berlama-lama lagi menghadapi Amerika Serikat di kancah Perang Pasifik.
Sjahrir, yang sejak lama membangun jaringan bawah tanah, lantas menggerakkan kelompoknya untuk bersiap dengan revolusi. Pemuda sosialis binaan Sjahrir di berbagai daerah manut. Mereka antusias menyambut kemerdekaan Indonesia.
Syahdan terjadilah pembacaan proklamasi kemerdekaan di Cirebon pada 15 Agustus 1945, lebih dulu dari Sukarno-Hatta pada 17 Agustus 1945 di Menteng, Jakarta.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sejak Jepang menduduki Indonesia, Sjahrir dan Sukarno memilih jalan berbeda. Sjahrir membangun kelompok antifasis di bawah tanah, sementara Sukarno dan Hatta memilih tampil ke permukaan publik berkolaborasi dengan Jepang.
Di kemudian hari, perbedaan jalan yang ditempuh itu membuat Sjahrir dan Sukarno memiliki perbedaan pandangan tentang kapan Indonesia merdeka.
Di masa krisis penghujung Perang Dunia II, Sjahrir merasa Sukarno dan Hatta selaku tokoh paling kuat di mata publik perlu segera membacakan proklamasi. Sjahrir yakin Jepang akan segera menyerah usai Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak akibat bom atom. Dia tahu dan menganalisis itu berdasarkan siaran radio BBC.
Sukarno punya pandangan berbeda. Saat keliling Jakarta bersama Sjahrir naik mobil, Sukarno menyampaikan bahwa dirinya masih menunggu isyarat dari Jepang yang sebelumnya telah menjanjikan kemerdekaan.
Sjahrir kalap bukan kepalang. Dia berang. Gelagat Sjahrir usai bertemu Sukarno diceritakan dalam buku Perjuangan Revolusi karangan Subadio Sastrosatomo, orang dekat Sjahrir.
Sukarno lalu bertemu dengan Panglima Tertinggi Jepang untuk Asia Tenggara, Marsekal Terauchi di Dalat, Vietnam untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia. Setelah itu, Sukarno kembali bertemu dengan Sjahrir pada 14 Agustus 1945 di rumahnya Jalan Pegangsaan Timur 56 Jakarta. Hatta ikut serta.
Dalam pertemuan, Sjahrir memberikan kabar terbaru: Jepang minta damai dengan Sekutu. Sukarno dan Hatta tak langsung percaya. Dia ingin memastikan terlebih dulu kepada otoritas Jepang esok hari. Sjahrir kembali berang.
Sukarno dan Hatta merasa proklamasi baru bisa dibacakan setelah kabar menyerah Jepang terkonfirmasi. Sukarno juga menganggap saat itu siaran radio telah dikuasai Sekutu, sehingga tak bisa langsung dipercaya.
Berbeda dengan Sjahrir yang merasa saat itulah mereka harus melawan Jepang dengan merdeka tanpa menunggu restu pihak manapun. Dia tak ingin Indonesia merdeka berkat pemberian negara fasis.
Sikap tunda Sukarno tak membendung pergolakan Sjahrir. Dia menginstruksikan kelompok pemuda binaannya di berbagai wilayah bersiap untuk bergerak. Pada 15 Agustus sore, pemuda dari berbagai kalangan berkumpul di pinggir kota Jakarta. Mereka akan langsung merangsek masuk dan menduduki gedung strategis ketika proklamasi kemerdekaan dibacakan.
Namun, instruksi tak kunjung datang seiring proklamasi tak kunjung dibacakan. Sukarno dan Hatta masih berpendirian menunggu informasi resmi dari otoritas Jepang. Itu membuat pemuda yang telah berkumpul di beberapa titik gelisah dan tersulut emosi --meski tak sampai meletup hingga terjadi kericuhan.
Sjahrir di sisi lain tak setuju proklamasi kemerdekaan dibacakan tanpa Sukarno dan Hatta. Dia cemas akan terjadi konflik. Gejolak amarah pemuda lantas mereda.
Akan tetapi hal itu tak berlaku di Cirebon. Kelompok pemuda yang telah berkumpul saat itu dalam kondisi yang tidak memungkinkan untuk diminta pulang ke peraduan. Mereka begitu antusias menyambut kemerdekaan. Hingga terjadi pembacaan proklamasi oleh orang binaan Sjahrir.