ANALISIS

Senja Mural Jalan di Tengah Kemunafikan Ruang Politik RI

CNN Indonesia
Selasa, 17 Agu 2021 10:05 WIB
Kritik, dalam hal ini melalui mural, sejatinya berisi kritik: mencerminkan pandangan masyarakat mengenai adanya suatu keadaan yang tidak benar.
Foto: ANTARA FOTO/FAUZAN

Seniman mural asal Yogyakarta, Andrew Lumban Gaol telah mengalami hal semacam ini sejak bertahun-tahun silam.

Andrew yang menggagas @antitankproject telah menyebar poster-poster berisi protes dan kritik di tembok jalanan sejak 2008. Lantaran tindakannya itu, ia berurusan dengan aparat, preman, hingga ormas. Menurutnya, berurusan dengan aparat sudah menjadi tradisi street art.

"Sudah jadi tradisi graffiti atau street art berurusan dengan aparat. Itu tabiat utamanya, yang menjadikan kultur ini tetap dinamis," kata Andre saat dihubungi CNNIndonesia.com melalui aplikasi Whatsapp, Senin (16/8).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Menurut Andrew, salah satu peristiwa yang menarik terjadi pada 2012. Saat itu, ia mendesain poster Wapres Boediono dengan teks 'Antara Ada dan Tiada' dan menempelkannya di berbagai tempat di Yogyakarta. Beberapa waktu kemudian, tiba-tiba poster itu lenyap dari seantero Yogyakarta.

"Dapat kabar dari kawan kalau poster-poster itu ditutupi oleh tentara," jelas Andrew.

Andrew tidak pernah mendapatkan alasan jelas mengapa poster dan muralnya yang tersebar di jalanan dihapus. Ia menilai tindakan penghapusan itu merupakan respons alami otoritas yang korup.

"Karena membiarkan kritik beredar di jalanan tentu akan merusak citra baik yang habis-habisan mereka bentuk," ujar Andrew.

Andrew mempertanyakan tudingan pelanggaran ketertiban umum ataupun vandalisme yang kerap dilontarkan aparat. Menurutnya, banyak pihak telah memahami terdapat ratusan mural partai politik yang tersebar di Indonesia. Namun, aparat tidak menutup mural-mural itu.

"Tidak akan mungkin (ditutup). Karena keberadaan mural Parpol tak mengancam penguasa, justru menguntungkan," kata Andrew.

Menurut Andrew, kondisi riil suatu komunitas, kota, ataupun daerah dari mural-mural dan grafiti yang bertebaran di jalanan. Semakin buruk atau korup suatu wilayah, kata Andrew, akan diikuti oleh maraknya mural di tembok-tembok tepi jalan.

Sementara, di kawasan yang kondisi masyarakatnya tidak bergejolak, karya-karya mural jalanan jarang dijumpai.

"Di sinilah bermula keangkuhan otoritas, mencoba membungkam suara-suara kritik dengan mengabaikan pesan substantif yang harusnya lebih bijak mereka respon," tutur Andrew.

Meski karyanya kerap dihapus dan berurusan dengan aparat, menurut Andrew, mengemukakan pendapat melalui street art memberikan tantangan tersendiri.

"Jalanan sangat demokratis dan mampu menjangkau semua kelas sosial, ruang yang tak dimiliki oleh medium lain," ujar Andrew.

Selain berurusan dengan aparat, seniman mural seperti Andrew kerap dihadapkan pada perebutan ruang. Mereka bersaing dengan mural-mural yang dibiayai pemerintah maupun perusahaan.

"Ada dogma di kultur street art atau graffiti, kita tidak mengemis ruang, tapi merebutnya," tuturnya.

Andrew mengaku merasa lebih menghormati seniman yang merebut ruang publik tanpa adanya campur tangan pemerintah maupun korporasi. Meski demikian, dalam situasi tertentu bisa saja bersiasat sembari tetap memprioritaskan 'militansi jalanan'.

"Kita harus mempertahankan ruang publik se-demokratis mungkin sebagai wadah bersama bagi banyak suara akar rumput yang dipinggirkan secara sistematis," ujarnya.

(iam/ain)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER