Lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) menyoroti sejumlah upaya pengerdilan pemberantasan korupsi di meja hukum dari mulai di meja pengadilan, termasuk remisi ketika putusan sudah inkrah.
Dikutip dari laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), berdasarkan pemantauan lembaga ini sepanjang tahun 2020, vonis ringan (0-4 tahun) masih mendominasi persidangan perkara korupsi.
Data pemantauan menunjukkan sebanyak 760 terdakwa divonis di bawah empat tahun penjara. Sedangkan vonis berat ( di atas 10 tahun) hanya dikenakan kepada 18 orang terdakwa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Peneliti ICW, Lalola Ester dengan kondisi tren vonis itu, ditambah adanya remisi, para pelaku korupsi dikhawatirkan tidak akan berlama-lama menjalani hukumannya.
"Makanya kami dorong agar perampasan aset lewat pidana tambahan uang pengganti dan TPPU harus digunakan untuk seluruh kasus tipikor, karena pidana badannya (penjara) biasanya enggak akan menjerakan," katanya saat dihubungi.
Lola menerangkan pihaknya menilai syarat status JC dalam pemberian remisi tidak bisa begitu saja diberikan terhadap narapidana kasus korupsi.
Menurutnya, yang menerima status tersebut tidak boleh merupakan pelaku utama dari tindak pidana, bersedia mengungkap kasus korupsi yang menjerat dirinya dan mengarahkan pada pelaku utamanya.
"Dalam kasus Djoko Tjandra, apakah kedua hal tersebut sudah diuji? Langkah pemerintah justru menunjukkan ketidakseriusan pemerintah dalam memberantas korupsi," katanya.
Dalam rilisnya pada Jumat ini, ICW juga mempertanyakan soal pemberian remisi terhadap Djoko Tjandra. Hal itu dinilai janggal lantaran yang bersangkutan merupakan seorang buronan 11 tahun yang belakangan baru ditangkap.
"Pasal 34 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2006 tidak hanya mensyaratkan telah menjalani 1/3 masa pidana, melainkan juga mewajibkan terpidana berkelakuan baik. Pertanyaan lanjutan: apakah seseorang yang melarikan diri ketika harus menjalani masa hukuman dianggap sebagai berlakuan baik oleh Kemenkumham?" tulis ICW dalam rilis tersebut.
Atas dasar tersebut, ICW pun mendesak Kemenkumham dalam mengumumkan remisi juga membeberkan alasan yang membuat terpidana tersebut mendapatkan pemotongan masa hukuman.
"Misalnya, ketika terpidana menjadi Justice Collaborator, maka pertanyaannya: kapan status itu didapatkan? Pemberian informasi ini menjadi penting karena menjadi hak masyarakat. Terlebih, dokumen itu tidak dikategorikan sebagai informasi yang dikecualikan berdasarkan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik," demikian permintaan ICW.
Sementara itu, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly mengklaim 214 narapidana korupsi yang menerima remisi HUT ke-76 RI sudah memenuhi syarat sebagaimana peraturan yang berlaku.
Yasonna mengatakan satu di antaranya adalah memperoleh status Justice Collaborator (JC) atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan Aparat Penegak Hukum (APH).
"Kalau ada napi korupsi yang dapat remisi berarti dia sudah memenuhi syarat, sudah ada JC dari penegak hukum. Nazaruddin [mantan Bendahara Umum Partai Demokrat] saja dapat karena dia JC. Nazaruddin sudah lama bebas," ujar Yasonna kepada CNNIndonesia.com melalui pesan tertulis, Kamis (19/8).
(yoa/kid)