Surabaya, CNN Indonesia --
Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya, Jawa Timur, bakal mencari 200 dari sekitar 1.000 ibu hamil yang tak datang saat vaksinasi Covid-19 massal di Airlangga Convention Centre (ACC) Kampus C Universitas Airlangga (Unair) pada Kamis (19/8) kemarin.
Kepala Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Surabaya, Febria Rachmanita mengatakan, pihaknya pun bakal melakukan vaksinasi door to door, atau mendatangi 200 ibu hamil itu.
"Kemarin sasaran 1.000, baru tercapai 800," kata Febria Rachmanita, Jumat (20/8).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Menurut Feny sapaan akrabnya, ada beberapa faktor yang menyebabkan ibu hamil tidak datang saat pelaksanaan vaksinasi massal tempo hari. Satu di antaranya adalah ibu hamil tersebut belum mendapat izin dari suaminya.
"Belum dapat izin dari suami. Terus kemudian masih ragu-ragu," ujarnya.
Oleh karena itu, pihaknya bakal melakukan pendekatan-pendekatan secara persuasif. Ia berharap, seluruh ibu hamil di Surabaya yang telah ditetapkan menjadi sasaran, bersedia untuk menjalani vaksinasi Covid-19.
"Ini masih kita lakukan pendekatan, karena nanti ibu hamil wajib melakukan vaksin seperti waktu kita mewajibkan mereka tes PCR," ucap dia.
Bahkan untuk mendekatkan layanan, pihaknya berencana menerapkan vaksinasi door to door. Atau, mendatangi langsung ke rumah-rumah ibu hamil seperti yang telah dilakukan sebelumnya kepada lansia dan disabilitas.
"Ya, ketika mereka tidak bisa [datang]. Seperti kita lakukan pada lansia, disabilitas, kami lakukan door to door. Kalau mereka masih belum berkenan ya kami datangi," ucapnya.
Feny menerangkan, bahwa siapapun bisa tertular Covid-19, termasuk pula ibu hamil. Karenanya, vaksinasi ini penting untuk menumbuhkan herd immunity. Apalagi, ibu hamil juga tergolong rentan tertular Covid-19.
"Siapa saja bisa tertular. Kalau ibu hamil kan rentan, mudah tertular. Jadi di Surabaya penularannya bukan lagi kluster-kluster, tapi sudah komunitas," paparnya.
Ia menambahkan, bahwa ibu hamil aman divaksin setelah melewati usia kehamilan 3 bulan pertama. Atau, setelah melewati trimester pertama. Pihaknya memastikan, vaksinasi kepada ini tidak membahayakan bagi janin atau calon bayi.
"Kita utamakan yang risiko tinggi, usia 35-40 tahun. Yang punya komorbid [tidak akut dan terkontrol] itu juga. Janinnya jadi kuat," pungkas Feny.
Gubernur Jawa Timur (Jatim) Khofifah Indar Parawansa menilai penanganan Covid-19 berbasis pendekatan kebudayaan menjadi kunci pengendalian pandemi di wilayahnya.
Khofifah mengaku dalam penanganan pandemi Covid-19 di wilayahnya selama ini tidak pernah ada kebijakan yang sama persis antar daerahnya. Kondisi topografi dan format demografi Jatim yang mencakup 38 kabupaten/kota menjadi penyebabnya.
"Seperti yang saya menyampaikan dahulu, bahwa Jatim ini tidak bisa dibangun dengan pendekatan simetris. Jatim harus dengan pendekatan asimetris karena ada banyak kultur dan perbedaan," jelasnya dalam diskusi virtual, Jumat (20/8).
Secara umum, Khofifah mengatakan ada tiga kelompok kebudayaan yang berbeda di Jatim yakni kawasan Tapal Kuda yang meliputi daerah Probolinggo hingga Madura; Mataraman meliputi Tulungagung hingga Banyuwangi; dan Arek meliputi Surabaya hingga Malang.
Akibat kondisi masyarakat yang sangat beragam itulah pendekatan yang diambil pihaknya dalam penanganan Covid-19 menjadi berbeda-beda di tiap daerah. Fokus pengendalian pun disesuaikan kepada karakteristik, kondisi dan kesiapan daerah.
"Misalnya untuk daerah Tapal Kuda di luar Madura, kita melakukan pendekatan dari perguruan tinggi misalnya Universitas Jember. Karena dari perguruan tinggi bisa memberikan penetrasi pemahaman kepada yang percaya atau tidak percaya," ujar Khofifah.
Sementara untuk daerah Madura, pendekatan yang dipilih melalui tokoh-tokoh agama dan masyarakat setempat yang memiliki basis pengikut besar. Misalnya melalui institusi keagamaan seperti pesantren untuk mendorong program vaksinasi.
"Ada beberapa daerah yang memang pintu masuknya harus tepat. Jadi pendekatan-pendekatannya memang harus lebih dekat lagi kepada masyarakat setempat," kata mantan Menteri Sosial tersebut.
Melalui berbagai pendekatan inilah ia lantas mengklaim penanganan Covid-19 di Jatim menjadi optimal dan pandemi Covid-19 dapat terkendali. Lebih lanjut, ia pun mengaku saat ini kondisi penyebaran Covid-19 di Jatim sudah lebih kondusif dan terkendali berdasarkan sejumlah indikator yang ada.
Seperti turunnya tingkat keterisian tempat tidur (bed occupancy rate/BOR) di RS rujukan menjadi 43 persen, serta penurunan jumlah daerah yang melakukan PPKM level 4 dari 30 daerah menjadi 17 daerah saja.
Selain itu, untuk pelaksanaan surveilans di masyarakat seperti tracing dan testing di Jatim juga dikatakannya telah mengalami kenaikan cukup signifikan, dari 1,2 persen menjadi 9,4 persen.