Kehadiran Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Sekjen, Eddy Soeparno dalam pertemuan Presiden Joko Widodo dengan sejumlah partai koalisi di Istana Kepresidenan, kemarin, menegaskan bergabungnya partai berlambang matahari itu ke koalisi pendukung Jokowi.
Sekjen Partai NasDem, Johny Gerald Plate menyebut PAN sebagai 'sahabat baru' koalisi.
Bergabungnya PAN ke dalam koalisi dianggap sebagai energi baru untuk semakin memperkokoh pemerintahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan Jokowi ingin merangkul PAN dan berharap dapat meraih suara umat Islam.
"Artinya dengan merangkul PAN yang dianggap sebagai partai Islam menengah itu diharapkan mampu untuk merangkul massa muslim urban yang selama ini belum direngkuh oleh pak Jokowi dan koalisinya," ucap Wasisto saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu (25/8) malam.
Wasisto juga berpendapat masuknya PAN ke dalam koalisi akan memperkuat posisi pemerintah dalam menghadapi kritikan yang dilontarkan oleh partai oposisi, dalam hal ini Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Demokrat.
"Ini adalah langkah strategis untuk bisa meredam suara dari oposisi tersebut karena yang selama ini kita lihat warna koalisi pak Jokowi terlalu kental nasionalisnya, artinya kalau merangkul yang nasionalis religius itu diharapkan koalisi pak Jokowi ini bisa merangkul massa Islam yang belum terjamah sebelumnya," tuturnya.
Menurut Wasisto, ini merupakan simbiosis mutualisme. Sebab menguntungkan kedua belah pihak, baik pemerintah atau koalisi dan PAN.
Bagi PAN, kata Wasisto, langkah untuk bergabung ke koalisi dapat menguntungkan posisi mereka sebagai sebuah partai. Pasalnya, selama ini PAN cenderung terseok-seok saat memosisikan dirinya sebagai sebuah partai oposisi.
Selain itu, Wasisto menilai bahwa langkah untuk bergabung ke koalisi juga bisa merangkul kembali pemilih-pemilih muslim yang selama ini mungkin telah bergeser ke PKS.
"Arah oposisi PAN itu cenderung setengah-setengah, antara ingin dirangkul pemerintah, tapi juga berusaha menjaga jarak dengan pemerintah, artinya ketika bergabung dengan koalisi ini malah justru menguntungkan posisi mereka," ucap Wasisto.
Posisi PAN sebagai partai mediator yang kemudian bergabung dengan koalisi, bisa mengurangi peta partai oposisi di Pemilihan Presiden 2024 mendatang. Namun, Wasisto turut menyoroti soal manuver yang justru bisa terjadi di tubuh koalisi.
"Karena mungkin bisa jadi nanti PKB mengajak PAN berkoalisi misalnya, atau mungkin partai lain, artinya dibandingkan dengan mengkhawatirkan koalisi dari oposisi malah justru yang perlu digarisbawahi bagaimana nanti PAN itu bisa atau mungkin partai lain itu saling bersinergi atau justru malah saling berkompetisi secara internal," katanya.