Jadi Guru Besar, Jaksa Agung Singgung Pencurian 3 Buah Kakao
Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin menyinggung soal pihak-pihak yang mempertanyakan hati nurani penegak hukum yang memproses kasus pidana ringan rakyat kecil, seperti pencurian tiga buah kakao yang dilakukan Nenek Minah.
Hal itu dikatakannya saat dikukuhkan sebagai Guru Besar Tidak Tetap di Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed), Jawa Tengah pada Jumat (10/9). Penetapannya dilakukan melalui Keputusan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi nomor 7421/MPK.A/KP/05/00/2021.
Guru besar sendiri setara dengan status profesor.
Dalam orasi ilmiahnya, Burhanuddin menyinggung terkait upaya penegakan hukum di Indonesia yang kerap kali dinilai masih jauh dari prinsip keadilan di mata masyarakat.
Misalnya, ia berkaca pada penerapan proses hukum terhadap kasus nenek Minah dan kakek Samirin yang harus mendekam di balik jeruji besi sebagai terpidana.
"Kasus nenek Minah yang didakwa melakukan pencurian tiga buah kakao kemudian divonis 1 bulan dan 15 hari dengan masa percobaan selama tiga bulan. Kasus lain yang serupa adalah kasus kakek Samirin yang divonis bersalah 2 bulan 4 hari hari karena mencuri getah karena yang harganya sekitar Rp17 ribu," kata Burhanuddin dalam pembacaan orasi ilmiah.
Padahal, kata dia, aparat penegak hukum kala itu harus lebih menggunakan hati nurani dalam melakukan upaya proses hukum terhadap kasus-kasus tersebut.
Menurutnya, dalam sebuah penerapan hukum harus dikedepankan pertimbangan-pertimbangan yang seimbang sehingga tak semua perbuatan pidana tak berakhir di penjara.
"Tuntutan dari kasus Nenek Minah dan Kakek Samirin telah mengusik rasa keadilan banyak pihak, banyak kalangan yang akhirnya mempertanyakan dimana letak hati nurani pada aparat penegak hukum," ucapnya.
Pucuk pimpinan Korps Adhyaksa itu mengakui bahwa upaya penegakan hukum saat ini masih mengutamakan aspek kepastian hukum dan legalitas formal dibandingkan dengan keadilan yang substansial bagi masyarakat.
Sehingga, kata dia, tak kaget apabila banyak masyarakat yang memandang bahwa penegakan hukum itu seperti pisau yang tajam ke bawah namun tumpul ke atas.
"Kita tidak dapat menutup mata dengan segala penegakan hukum yang berkembang di Indonesia," jelasnya.
Oleh sebab itu, Burhanuddin mengungkapkan diperlukan mekanisme penegakan hukum berbasis pada keadilan restoratif bagi masyarakat. Sehingga, aparat dapat mengedepankan proses-proses pemulihan bagi korban ataupun pelaku.
"Kita harus dapat melihat jika saat ini terjadi pergeseran paradigma hukum dari keadilan retributif atau pembalasan menjadi keadilan restoratif atau pemulihan," kata dia.
Pendekatan mekanisme hukum tanpa dibawa ke meja hijau dikenal sebagai restorative justice. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan mengedepankan pendekatan mediasi antara pelaku dengan korban.
Burhanuddin juga telah menerbitkan Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif.
Aturan tersebut memungkinkan penuntutan kasus pidana yang ringan tak dilanjutkan apabila memenuhi sejumlah persyaratan.
Dalam Pasal 5 aturan itu, disebutkan bahwa perkara dapat dihentikan apabila tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, dan hanya diancam dengan pidana denda atau pidana penjara tidak lebih dari 5 tahun.
Kemudian, nilai barang bukti atau kerugian yang ditimbulkan akibat tindak pidana tidak lebih dari Rp 2,5 juta.
Pada 2009, Nenek Minah (55) mulanya iseng memetik 3 kakao di lahan perkebunan milik PT Rumpun Sari Antan (RSA), Banyumas, Jawa Tengah, saat memanen kedelai.
Kedapatan oleh mandor, ia mendapat panggilan polisi sepekan kemudian hingga berujung di pengadilan. Hakim kemudian memvonisnya 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan 3 bulan.
(mjo/arh)