Presiden Joko Widodo masih bergeming atas nasib puluhan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang gagal dilantik menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) karena dinilai tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Belum ada sikap yang diambil.
Padahal, sejumlah lembaga negara seperti Ombudsman RI, Komnas HAM, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA) sudah mengeluarkan keputusan terkait polemik alih status melalui metode asesmen TWK tersebut.
Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono, sempat mengatakan bahwa Presiden menunggu keputusan hukum yang berproses di MK dan MA terlebih dahulu sebelum menentukan sikap.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terhadap polemik alih status pegawai KPK melalui metode asesmen TWK, Jokowi tercatat baru satu kali menyampaikan sikap ke publik. Pada 17 Mei lalu, Jokowi menyatakan TWK tidak dapat dijadikan dasar memberhentikan pegawai KPK yang tidak lolos asesmen tes tersebut.
"Hasil TWK hendaknya menjadi masukan untuk langkah-langkah perbaikan KPK baik pada individu atau institusi KPK dan tidak serta merta jadi dasar berhentikan 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes," kata Jokowi, Senin (17/5) lalu.
Pernyataan itu keluar setelah pimpinan KPK menerbitkan Surat Keputusan (SK) Nomor 652 Tahun 2021 tentang penonaktifan 75 pegawai KPK. SK diteken pada 7 Mei 2021 dan ditandatangani oleh Ketua KPK Firli Bahuri.
Dalam surat, Novel Baswedan bersama 74 pegawai lainnya diminta menyerahkan tugas dan tanggung jawab ke atasan langsung sambil menunggu keputusan lebih lanjut. Mereka terancam dipecat pada 1 November 2021. Sejak saat itu, nasib puluhan pegawai KPK tak lolos TWK terombang-ambing.
![]() Penyidik senior Novel Baswedan termasuk pegawai KPK yang dinyatakan tidak lulus TWK |
Dalam perjalanannya, para pegawai menempuh jalur hukum untuk memperjuangkan haknya. Mereka membawa polemik ini ke Dewan Pengawas KPK, Ombudsman RI, Komnas HAM, MA, hingga Komisi Informasi. Teruntuk upaya hukum di MK, para pegawai mencabut gugatan.
Namun, ada permohonan dari pihak ketiga yang memperjuangkan hak para pegawai yang 'disingkirkan' tersebut.
Dewan Pengawas KPK memutuskan untuk tidak melanjutkan laporan pegawai perihal dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku pimpinan terkait TWK ke persidangan etik. Lembaga pengawas ini menilai laporan tidak cukup bukti.
Sementara itu, Ombudsman RI menyatakan telah terjadi penyalahgunaan wewenang, pelanggaran administrasi, dan pelanggaran prosedur dalam penyusunan kebijakan dan pelaksanaan TWK.
Ombudsman lalu meminta KPK melaksanakan tindakan korektif termasuk mengalihkan status 75 pegawai KPK menjadi ASN. KPK keberatan untuk menjalankan tindakan korektif dimaksud.