Sebanyak 57 pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akan diberhentikan dengan hormat per 30 September mendatang. Puluhan pegawai yang dianggap tidak pancasilais karena tak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), nantinya telah keluar dari KPK pada Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober.
Dosen Politik Pemerintahan UGM Bayu Dardias Kurniadi menilai Ketua KPK Firli Bahuri ingin membangun citra di hadapan publik mengenai makna tindakannya sebagai 'pembersihan' KPK dari unsur-unsur yang tidak Pancasilais.
"Mereka (57 pegawai KPK) dianggap bertentangan dengan Pancasila karena tidak lolos tes wawasan kebangsaan, karenanya KPK sudah bersih dari anasir-anasir itu tanggal 1 Oktober saat Hari Kesaktian Pancasila," kata Bayu kepada CNNIndonesia.com melalui sambungan telepon, Jumat (17/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Bayu, politik simbol yang dilakukan Firli tidak hanya soal pembersihan KPK dari unsur yang dianggap tidak pancasilais. Lebih dari itu, Firli ingin menunjukkan bahwa KPK tetap berfungsi tanpa campur tangan 57 pegawainya. Lewat operasi tangkap tangan di hulu sungai Kalimantan Selatan Kamis (16/9).
"Ini bukan berarti kebenaran sesungguhnya, hanya citra yang ingin dibangun oleh Firli," tutur Bayu.
Pegawai nonaktif KPK Giri Suprapdiono menyebut percepatan pemecatan ini dengan istilah 'G30STWK'. Dia tidak bisa menerima tudingan bahwa para pegawai yang dinonaktifkan karena gagal TWK dalam alih status menjadi ASN, dianggap tidak bisa dibina dan tidak Pancasilais.
"Mereka menyatakan kami tidak bisa dibina, tidak pancasilais, dan langsung dinonjobkan. Ini penghinaan bagi kami," kata Giri dalam keterangannya kepada CNNIndonesia.com, Rabu (15/9).
Awalnya, pemberhentian pegawai KPK akan dilakukan 1 November 2021. Namun rencana tersebut diubah lebih cepat satu bulan dari SK Nomor 652 Tahun 2021.
Firli membantah bahwa pihaknya mempercepat waktu pemberhentian 57 pegawai. Dia mengatakan pemberhentian telah sesuai batas waktu yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 19 Tahun 2019.
"Jadi, bukan percepatan. Tapi memang dalam durasi yang dimandatkan oleh undang-undang. Saya kira begitu," kata jenderal polisi bintang tiga itu, Rabu (15/9).
Dosen Hukum Universitas Andalas Feri Amsari berpendapat, sedikitnya ada dua kejanggalan dalam percepatan pemecatan KPK, yaitu SK pemecatan yang ditandatangani oleh Pimpinan KPK.
"Harusnya kan, ditandatangani Sekjen KPK sebagai Pejabat Pembina Kepegawaian, jadi aneh karena ditandatangani Pimpinan KPK sendiri," tutur Feri.
Selain itu, Feri menilai ada andil Presiden Jokowi dalam percepatan pemecatan pegawai KPK ini. Seharusnya, kata Feri, Jokowi mematuhi rekomendasi Ombudsman RI dan Komnas HAM yang menyatakan telah terjadi pelanggaran HAM dan malaadministrasi.
"Presiden punya kewajiban mematuhi rekomendasi Komnas HAM dan Ombudsman, ini malah seperti Presiden sendiri yang terlibat dalam menyingkirkan 57 pegawai KPK secara cepat dengan menggunakan tangan pimpinan KPK," ujar Feri.
![]() |