Pandeglang, CNN Indonesia --
Polisi menyebut rumah di Desa Pandat, Kecamatan Mandalawangi, Kabupaten Pandeglang, Banten, yang bernama 'Angling Dharma' bukan kerajaan, serta dana untuk membantu warga sekitar berasal dari sumbangan pengunjung yang meminta doa.
Sebelumnya, warga Pandeglang, Iskandar Jamaludin Firdaus, mengklaim sebagai Baginda Sultan dari Kerajaan Angling Dharma. Ia diklaim rajin menyumbang dan membantu warga.
"Kapolsek Mandalawangi sudah mengkonfirmasi semua keluarganya dan mengaku bahwa yang bersangkutan (Angling Dharma) bukan kerajaan. Namun yang bersangkutan suka dengan corak-corak raja," kata Kapolres Pandeglang AKBP Belny Warlansyah, dalam keterangannya, Kamis (23/9).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut laporan yang dia terima, pria yang sempat disebut sebagai Baginda Sultan memang kerap melakukan kegiatan sosial, membangun rumah tidak layak huni dan pondok pesantren. Uangnya, kata dia, berasal dari masyarakat yang datang ke Iskandar Jamaludin Firdaus, untuk meminta doa dan petuah.
"Dana yang digunakan untuk membangun rumah warga miskin itu berasal dari orang yang datang minta doa pada Baginda, uang itulah yang dipakai untuk kegiatan sosial," terang Belny.
Alasan Penamaan
Aki Jamil, ajudan Baginda Sultan Iskandar Jamaludin Firdaus, menjelaskan Angling Dharma memiliki makna "untuk memanusiakan manusia".
"Angling Dharma itu, bukan hanya Baginda saja, tapi hidup kita juga angling, men-darma dan berbakti, men-darma kepada sang pencipta dan berbakti kepada yang diciptakannya," kata dia, Rabu (22/9).
"Semua kegiatan beliau di bidang sosial, tujuannya Baginda terutama untuk mensejahterakan masyarakat miskin, intinya memanusiakan manusia. Baginda ini sosok raja yang adil dan bijaksana di muka bumi ini, menurut saya tidak ada lagi," terangnya.
Lantaran itu, Aki Jamil mengatakan Angling Dharma bersama sang Sultan sudah membangun 35 rumah tidak layak huni, 4 pondok pesantren, hingga menyantuni kaum papa.
Uangnya, dia mengklaim, berasal dari pekerjaan sang Sultan dan bantuan dari para muridnya yang dermawan.
Soal penobatan Iskandar Jamaludin Firdaus sebagai sultan, Aki menyebut itu dilakukan secara gaib.
"Bukan keinginan baginda, bukan keinginan masyarakat, itu ada dari sananya (takdir), dzohir-nya memang ada dari sananya. Bukan sesekali menobatkan diri tapi memang bukti ada dari sananya," tutur dia.
"Waktu diangkat raja secara goib itu pada tahun 2004. Padahal sebelumnya beliau menolak bahkan ada yang masuk pun ke sini selalu diusir. Gelar beliau dari sang Khalik, baginda itu ada tapi tiada. Tugasnya memikirkan umat. Kalau di tarik ada keturunan dari kesultanan," lanjutnya.
Aki Jamil pun mengklaim Baginda Sultan memiliki kemampuan yang dalam istilah Jawa disebut sebagai 'Winarah Sadurung Wineruh', atau tahu sesuatu sebelum kejadian.
"Halaman pelataran, bangunan yang digunakan memiliki filosofi, semua mengandung arti dan makna yang sangat luar biasa. Seperti dilihat ada patung kuda dan lainnya. Bahkan bisa memprediksi apa yang akan terjadi di alam dunia. Bahkan sebelum adanya musibah, sebelum adanya corona, ada baginda sudah tahu," terangnya.
Pengikut kerajaan Angling Dharma akan diberi sebuah pin yang terdapat simbol bukan dan bintang, kemudian terdapat tulisan 'BBB'.
"Memiliki makna Bahagia Bersama Baginda dan Bahagia, Bersenyum Bersama," ujarnya.
Berdasarkan pantauan CNNIndonesia.com, sang Sultan memiliki singgasana yang terbuat dari kayu dan ada pahatan berbentuk naga di bagian sandaran tangannya. Singgasana itu berada di sebuah bangunan kayu mirip rumah panggung.
Di atas pintu masuk berwarna merah muda, tertulis "Angling Dharma, Raja Wangsa Negara". Kemudian ada juga tulisan mirip syair dari bahasa Indonesia maupun Inggris. Seperti "Satria Piningit Turun Ke Permukaan Bumi. Salam Baginda Untuk Kalian Semua".
Aki Jamil menyebut singgasana itu kerap digunakan oleh raja untuk menerima tamu, mengadakan acara hingga memberikan isyarah.
"Singgasana itu kadang-kadang Baginda duduk di situ juga, semua juga isyarah. Berbicara Baginda ya berbicara singgasana," ujarnya.
Rindu Ratu Adil
Sejarawan dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Wildan Sena Utama menyatakan fenomena kerajaan ini bukan hanya perkara kegagalan pengajaran sejarah di bangku sekolah, melainkan bentuk frustrasi dan pelarian diri masyarakat akibat ketidakhadiran negara.
"Tampaknya dalam setiap zaman memang ada kerinduan terhadap sosok ratu adil yang bisa menyelamatkan orang dari keputusasaan dan kesulitan," ujar dia, saat dihubungi oleh CNNIndonesia pada Rabu (22/9).
Menurut Wildan, para pengikut kerajaan-kerajaan fantasi tersebut adalah orang-orang yang ingin mendapatkan prestise, privilese, dan legitimasi baru hingga menaikkan posisi sosial dan budaya mereka di tengah masyarakat.
Di saat yang sama, sistem ekonomi politik dan program pemerintah tak berpihak kepada mereka.
"Imajinasi tersebut muncul setelah kerajaan ini menawarkan kepada masyarakat suatu kesempatan baru yang mungkin tidak diberikan/difasilitasi oleh negara," tutur Wildan.
Selain itu, fenomena kehadiran kerajaan baru tersebut juga tak hanya dipercaya oleh orang-orang kelas menengah ke bawah.
"Kelas menengah perkotaan senang dengan konspirasi walaupun gayanya berbeda," imbuhnya.
Menurutnya, karangan konspirasi tersebut tersebut memanfaatkan sisi rapuh manusia yaitu perasaan. Terutama, perasaan frustrasi terhadap situasi sosial-ekonomi dan mentalitas jalan pintas yang tidak terbangun secara kritis.
 Infografis tentang informasi seputar gejala, pencegahan dan penyebab depresi. (Foto: Astari Kusumawardhani) |
"Eskapisme (pelarian diri) kepada kerajaan fiktif, apapun bentuknya, itu adalah pelarian masyarakat yang sudah tidak bisa berharap pada negara," tutur Wildan.
Terlebih, fenomena kerajaan fiktif ini menggunakan karakteristik yang sama dengan kehidupan masyarakat Indonesia seperti simbol, ritual, dan maskulinitas.
Senada, Mantri Luar Karaton Sumedang Larang Rd. Oni Doni Setiadi memaparkan bahwa kondisi tersebut diperparah dengan sikap pemerintah yang tidak tegas.
"Kami dari Keraton ya sangat menyayangkan banyaknya kerajaan baru tapi tidak ada respon tegas dari pemerintah, justru masyarakat sendiri yang berusaha mematahkan argumen mereka," ujarnya saat dihubungi oleh CNNIndonesia pada Rabu (22/9) melalui sambungan telepon.
Menurut Doni, kemunculan kerajaan baru juga disebabkan kerinduan masyarakat terhadap figur-figur yang mempunyai karakter kearifan lokal yang kuat.
"Ada yang menangkap animo tersebut, dan memunculkan kerajaan baru, ya kerajaan abal-abal," tambahnya.
Kehadiran kerajaan baru tersebut memberi dampak pada kerajaan yang hadir di atas fakta sejarah. Menurutnya, kemunculan kerajaan baru yang tidak jelas sejarah dan dasarnya hanya akan menjadi lelucon.
"Nanti itu cuma akan jadi dagelan dan memberi image jelek bagi kerajaan yang riil dan seutuhnya," tutup Doni.