Sekarat
13 Naga Jakarta

Oleh:

Adhi Wicaksono
Please rotate your device for better experience

Dalam sejarah umat manusia, sungai punya makna penting untuk peradaban. Bagi masyarakat adat, sungai atau air itu juga lokus yang suci dan mensucikan. Oleh karena itu, bayi yang sudah berumur 30 hari itu biasanya akan dibawa ke sungai untuk turun mandi. Air akan membersihkan kotoran-kotoran yang dibawa saat ia dilahirkan.

Sungai adalah anugerah bagi daerah yang dilaluinya.

Demikian pula Jakarta tempo dulu. Denyut kehidupan kota ini dimulai lima ribu tahun lalu di Sungai Ciliwung yang bersentuhan langsung dengan Laut Jakarta di Utara.

Jakarta, kota megapolitan dengan luas 661,5 kilometer², memiliki 13 aliran sungai utama jika dilihat dari peta tata air 2012.

Memahami peran penting sungai, karakteristiknya, fungsinya dalam mengatur jumlah air di permukaan bumi, lekuk-lekuknya, adalah kunci bagi hidup bahagia warga. Apalagi Jakarta berada di dataran rendah. Semua aliran air dari Bogor yang meluncur ke Ibu Kota akan melalui 13 'naga' dan bermuara di Teluk Jakarta.

Ratusan tahun Jakarta berdiri, Ciliwung dan 12 buah anak sungai di Jakarta kini berubah fungsi menjadi got (selokan) besar. Menjelma jadi lokasi pembuangan limbah industri hingga kotoran rumah tangga, meski kehidupan tetap berjalan di sekitar bantarannya; permukiman liar, tambatan mata pencarian warga, hingga tempat bermain bagi anak-anak.

Tak ayal aliran sungai yang semula anugerah alam kini jadi sumber bencana tahunan. Luapan banjir juga tak jarang memakan korban jiwa dan kerugian materil. Apalagi naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim dan penurunan tanah, menambah daftar “komorbid” yang kini diramalkan menyebabkan Jakarta tenggelam pada 2050.

Pemerintah pusat dan provinsi bukannya berdiam diri. Namun, semua rencana yang sudah dirancang sejak 1973 seolah hanya berakhir di atas kertas, tanpa perubahan signifikan.

Ciliwung dan 12 sungai lainnya kini seolah berada di ujung sekaratnya. Siap membawa murka bencana ketika waktunya tiba.