Munas Alim Ulama dan Konbes NU juga membahas hukum mengenai Gelatin. PBNU menjelaskan bahwa gelatin yang berbahan baku dari hewan-hewan yang halal, maka statusnya adalah suci dan halal dikonsumsi.
Namun, ada perbedaan pendapat dari para ulama bila bahan baku gelatin diambil atau berasal dari hewan yang tidak halal dikonsumsi seperti babi.
Pendapat pertama, statusnya suci dan halal dikonsumsi bila bahan baku gelatin dari hewan tak halal. Alasannya karena sudah terjadi proses istihalah atau perubahan wujud. Hal itu berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendapat kedua, statusnya najis dan haram untuk dikonsumsi. Alasannya karena proses perubahan dari kulit dan tulang babi belum mencapai taraf istihalah. Pasalnya, istihalah mengandaikan perubahan secara total, yang mencakup perubahan fisik, sifat fisik, molekul kimia, dan sifat kimia.
NU juga mendukung pengaturan penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dalam peraturan perundang-undangan. Hal itu untuk mengurangi emisi karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya sebagai upaya untuk mengatasi pemanasan global dan melestarikan lingkungan hidup.
Putusan itu menjelaskan bahwa, pajak karbon merupakan kompensasi kerugian atas kerusakan lingkungan hidup yang ditimbulkan akibat emisi karbon. Hasil pajak karbon wajib dialokasikan untuk penjagaan dan kelestarian lingkungan hidup, termasuk pembayaran kompensasi terhadap capaian kawasan pengurangan emisi.
"Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon (NEK) dapat berupa bentuk pajak karbon, perdagangan karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas capaian kawasan pengurangan emis," kata Marzuki Wahid.
Rekomendasi RUU tentang Minol
NU memandang bahwa Undang-undang tentang Pelarangan Minuman Alkohol tidak hanya diberlakukan pada jenis minuman saja, tetapi juga pada makanan. Sebab, makanan juga ada beberapa yang dapat memabukkan.
"Seharusnya larangan ini tidak spesifik pada minuman saja, tetapi makanan juga. Ini kan illatnya iskâr (memabukkan). Sementara tidak hanya minuman yang berpotensi iskâr, makanan juga," usul Marzuqi.
Marzuqi juga mengusulkan agar redaksi 'Pelarangan' dalam RUU tentang Minol juga kurang tepat. Ia berpendapat lebih cocok jika menggunakan redaksi 'Pengaturan'.
Karena itu, rumusan Bahtusl Masail Qanuniyah saat itu memutuskan memandang perlu pengaturan minuman beralkohol yang meliputi: pelarangan, pengendalian, dan pengawasan terhadap produksi, peredaran, dan konsumsi.
"Pengaturan tidak perlu menggunakan istilah-istilah agama tertentu, tetapi pengaturan berbasis kesehatan dan meresahkan masyarakat. Misalnya, menjaga akal itu bukan ajaran Islam saja, tapi juga ajaran agama-agama lain," kata Marzuki.
(rzr/arh)