Jumhur Bongkar Cerita Detik-detik Penangkapan di Pagi Buta
Terdakwa kasus penyebaran berita bohong, Jumhur Hidayat membacakan pleidoi di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis (30/9). Dalam nota pembelaannya, Jumhur menceritakan kronologi kejadian penangkapan pada Oktober 2020 lalu.
Aktivis Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) ini mengatakan, ia ditangkap pada pagi buta setelah menunaikan salat subuh di kediamannya. Sekitar pukul 06.00 WIB, terdengar pintu rumahnya digedor keras, Jumhur mengaku juga ada ancaman pendobrakan.
"Saya mendengar ribut-ribut, saya menyaksikan istri saya dorong-dorongan pintu dengan orang yang akan menangkap saya dari Bareskrim Polri. Bahkan ada ucapan 'buka pintunya atau kita dobrak' kala itu ketika istri saya bilang tunggu untuk mengenakan jilbab," terang Jumhur dalam sidang yang dipantau daring.
Mendengar kerusuhan pagi itu, dia mengaku langsung bergegas menemui orang-orang yang akan mendobrak pintu rumahnya. Ketika pintu dibuka, pengamatan Jumhur, sekitar 30 orang langsung menggeledah kamar tidurnya dan seisi rumah.
Dia mengaku saat itu tidak mengetahui masalah apa yang disebabkan olehnya hingga harus digeledah oleh polisi. Dalam penggeledahan itu, seluruh barang elektronik miliknya dan anak istri disita.
"Semua HP, laptop, iPad milik saya dan anak istri saya, CPU komputer dan 5 buah USB disita. Walaupun beberapa barang dikembalikan karena tak bisa menjadi barang bukti. Namun sampai sekarang masih ada beberapa barang yang belum dikembalikan dan itu sangat penting bagi saya," kata Jumhur.
Dia menyampaikan, saat peristiwa penggeledahan dan penangkapan itu terjadi, ia baru saja keluar dari rumah sakit setelah operasi pengangkatan kantong empedu. Jumhur mengaku saat itu perutnya masih diperban karena luka tiga jahitan setelah operasi yang masih mengeluarkan darah.
"Tuan-tuan hakim yang mulia, tahukah kenapa istri saya mempertahankan agar tidak terjadi keributan? Tiada lain karena dia mau melindungi saya yang baru saja menjalani operasi pengangkatan kantong empedu dengan bius total selama 5 jam untuk membedah perut saya dengan 3 sobekan," katanya.
"Perut saya masih diperban dengan tiga sobekan yang masih berdarah itu karena belum sempat sampai 36 jam saya keluar RS," sambung dia.
Dalam pleidoi tersebut, tim kuasa hukum Jumhur Hidayat, meminta Majelis Hakim untuk memberikan putusan tidak bersalah pada terdakwa karena tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan.
Tim kuasa hukum juga menyampaikan tidak ditemukan keadaan yang memberatkan pada Jumhur Hidayat karena kliennya tersebut hanya menyampaikan aspirasinya untuk memperjuangkan demokrasi.
"Penasihat hukum yakni Josua Sitompul selaku koordinator hukum Kominfo menerangkan dalam persidangan bahwa tulisan terdakwa tidak memenuhi unsur rasa kebencian dan atau permusuhan terhadap kelompok masyarakat berdasarkan SARA," kata Arif Maulana, Kuasa Hukum Jumhur Hidayat.
"Oleh karenanya unsur dengan sengaja tanpa hak menyebarkan informasi tak terpenuhi, karena konten atau muatan kalimat terdakwa tidak memenuhi unsur kebencian atau SARA," sambungnya.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) PN Jakarta Selatan telah menuntut Jumhur Hidayat pidana tiga tahun penjara atas kasus penyebaran berita bohong. Jumhur disebut terbukti secara sah dan menyakinkan secara hukum melakukan tindak pidana dengan menyiarkan berita bohong sehingga menimbulkan keonaran sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat 1 KUHP.
Jumhur diperkarakan setelah mengkritik Omnibus Law dalam akun twitternya @jumhurhidayat. Ia menyebut bahwa Undang-Undang Omnibus Law akan menjadikan rakyat Indonesia jadi bangsa kuli dan terjajah. Selain itu, pada 7 Oktober 2020, ia juga menulis bahwa UU Omnibus Law untuk primitif.