Amnesty International Indonesia memberikan edukasi tentang pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kepada publik melalui contoh serial Squid Game. Serial yang tayang di Netflix tersebut memang tengah populer dalam satu bulan terakhir.
Amnesty International Indonesia menemukan setidaknya delapan pelanggaran HAM dalam serial Korea Selatan tersebut.
"Serial ini menceritakan 456 orang yang berusaha keluar dari kesulitan ekonomi dengan berlomba memenangkan permainan anak-anak tradisional Korea. Peserta yang kalah akan 'dieliminasi' oleh panitia penyelenggara yang misterius," demikian dikutip dari akun instagram @amnestyindonesia, Sabtu (9/10).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Berikut delapan pelanggaran HAM yang terkandung di dalam film Squid Game menurut Amnesty International Indonesia:
Amnesty Indonesia menilai, jenis pelanggaran HAM yang paling kentara dari awal hingga akhir cerita merupakan pelanggaran hak untuk hidup.
Pasalnya, dalam pelbagai jenis permainan yang ada dalam serial tersebut, mereka yang kalah akan dieliminasi oleh panitia penyelenggara permainan dengan cara dibunuh menggunakan senjata api, atau jatuh dari ketinggian ekstrim.
"Ini adalah contoh pelanggaran hak untuk hidup, salah satu hak fundamental yang dimiliki semua manusia sejak lahir dan tidak bisa dicabut," jelas Amnesty.
Pelanggaran HAM kedua menurut Amnesty Indonesia dalam serial itu merupakan pelanggaran hak pekerja. Potret pelanggaran itu terekam dalam kisah salah satu pemeran Squid Game yang bernama Gi-Hun.
Gi-Hun yang merupakan seorang buruh pabrik otomotif dipecat secara sepihak dengan alasan efisiensi perusahaan. Ketika melakukan protes terhadap aksi PHK tersebut digambarkan salah seorang teman Gi-Hun tewas akibat tindakan represif aparat.
Padahal Amnesty Indonesia menilai, setiap manusia berhak atas pekerjaan yang layak bagi penghidupan dan martabat manusia. Selain itu, seluruh pekerja juga berhak memperoleh upah yang adil, dan menjadi anggota serikat buruh.
"Jika ada kasus pelanggaran hak pekerja, negara harus menyediakan mediasi antara pekerja dan pengusaha untuk melindungi hak pekerja," tutur Amnesty.
Selanjutnya, Amnesty Indonesia menemukan pelanggaran hak untuk bebas dari diskriminasi yang dialami oleh Ali Abdul.
Menjadi seorang pekerja migran dari Pakistan dan tidak berdokumen, Ali kerap dieksploitasi. Sepanjang serial tersebut, ia digambarkan sering bekerja lembur, mendapati upah yang tidak adil, dan lingkungan kerja yang berbahaya dan tidak sehat tanpa jaminan.
Amnesty Indonesia menilai, penolakan hak-hak migran juga sering berkaitan erat dengan undang-undang diskriminatif dan dengan sikap prasangka atau xenofobia.
Padahal, tak seorang pun berhak mendiskriminasi manusia lain berdasarkan usia, warna kulit, kebangsaan, etnisitas, agama, jenis kelamin serta perbedaan-perbedaan lainnya.
"Itu berlaku baik secara individual maupun institusional dan sistemik melalui aturan dan kebijakan. Hak-hak asasi manusia dimiliki oleh semua manusia tanpa terkecuali," jelasnya.
Pelanggaran HAM lainnya yang ditemukan oleh Amnesty merupakan hak atas kondisi kerja yang layak dan aman. Amnesty menilai hal ini belum dapat dirasakan oleh Ali.
Pasalnya, selama enam bulan bekerja Ali diketahui sama sekali belum mendapatkan gaji dari perusahaan tempatnya bekerja. Standar keselamatan kerja juga diabaikan oleh perusahaan hingga berujung kepada hilangnya jari tangan ketika bekerja.
"Setiap pekerja berhak atas kondisi kerja yang layak dan aman. Ini termasuk pengaturan batasan jam kerja yang manusiawi, pembayaran upah yang layak, dan pengawasan yang efektif terhadap keselamatan dan kesehatan kerja (K3)," tegas Amnesty.