Ahli Nilai Wacana Pangkas Masa Karantina Jadi 5 Hari Berisiko
Epidemiolog dari Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai wacana pemerintah untuk memangkas masa karantina para WNA maupun WNI yang datang dari negara lain menjadi 5 hari, masih sangat berisiko di tengah kondisi pandemi Covid-19 saat ini.
Dicky menilai masa karantina minimal yang dianjurkan para ahli kesehatan dan epidemiolog adalah 7 x 24 jam. Itu pun menurutnya sudah dilengkapi dengan syarat lain seperti wajib vaksin dosis lengkap, dan hasil negatif Covid-19 dari negara asal dan pasca-ketibaan di Indonesia.
"Masa karantina lima hari menurut saya masih terlalu berisiko untuk konteks Indonesia, 7 hari itu minimal. Karena ada studi di Selandia Baru tentang masa karantina, yang dari studi itu ditemukan bahwa kalau 5 hari ke bawah itu potensi kasus lolos 25 persen," kata Dicky saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (11/10).
Dicky mengatakan varian dari mutasi virus SARS-CoV-2 yang terus bermunculan dan relatif memperburuk kondisi pandemi Covid-19 juga harus menjadi pertimbangan pemerintah, bahwa kedatangan internasional sangat berpotensi membuat transmisi varian anyar tersebut.
Dengan potensi itu, maka masa karantina menurutnya adalah hal yang urgen untuk melihat dan mengamati masa inkubasi virus untuk hasil tes Covid-19 yang lebih valid. Karantina minimal 7 x 24 jam menurutnya harus berkelanjutan, kendati kasus covid-19 di Indonesia sudah melandai dalam 12 pekan terakhir.
"Karantina ini jatuhnya sangat efektif, karena bukan suatu intervensi yang high technology, kita hanya perlu tempat dan pemantauan dan sistem yang efektif," kata dia.
Lihat Juga : |
Lebih lanjut, Dicky juga menilai bahwa Indonesia belum siap menjadi negara yang membebaskan masa karantina sejumlah kedatangan internasional dari negara tertentu, seperti yang dilakukan Singapura dan Amerika Serikat belakangan ini.
Dicky menyebut, kondisi pandemi Covid-19 di Indonesia masih sangat variatif tiap daerahnya. Hal itu karena faktor geografis Indonesia yang berbentuk negara kepulauan, juga penanganan pandemi Covid-19 yang pada awalnya masih fokus pada kota-kota besar saja.
"Kalau kebijakan bebas karantina Indonesia jelas belum ya, berbeda dengan negara lain. Mungkin kalau sudah seperti Jakarta semuanya boleh ya, tapi kalau secara umum terlalu berisiko. Dalam strategi pengendalian pandemi itu selalu mengambil skenario terburuknya dulu," ujar Dicky.
Pemerintah berencana memangkas masa karantina bagi kedatangan luar negeri menjadi 5 x 24 jam. Untuk saat ini, masa karantina pelaku perjalanan internasional yang datang ke Indonesia baik itu WNA maupun WNI, harus dilakukan selama 14 x 24 jam khusus untuk kedatangan dari negara yang mengalami lonjakan kasus covid-19.
Sementara untuk kedatangan WNA dan WNI dari negara dengan eskalasi kasus positif covid-19 rendah, maka karantina dilakukan selama masa 8 x 24 jam. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto pada 7 Oktober lalu mengatakan, wacana kebijakan itu menyusul pelandaian kasus Covid-19 di Indonesia.
Kebijakan itu menurutnya juga telah dibahas dalam rapat yang dipimpin Presiden Joko Widodo. Kendati demikian, Airlangga belum bisa memastikan kapan kebijakan itu akan diterapkan. Ia berkata penerapan kebijakan itu menunggu aturan teknis dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri).
(khr/pmg)