ANALISIS

Capres Jalur Menteri, Waspada Bahaya Politik Gentong Babi

CNN Indonesia
Senin, 18 Okt 2021 13:08 WIB
Presiden Jokowi melantik sejumlah menteri di Istana Negara, Jakarta, 2020. Jalur Menteri dinilai berpotensi besar membuka peluang jadi RI-1. (Foto: ANTARA FOTO/AGUS SUPARTO)
Jakarta, CNN Indonesia --

Masuknya sejumlah nama menteri di Kabinet Indonesia Maju ke dalam bursa calon presiden untuk Pemilu 2024 dinilai berpeluang memicu politik gentong babi. Selain tak adil, fenomena ini bakal mengorbankan kualitas demokrasi.

Hasil survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang berlangsung pada 15-21 September 2021 lalu menempatkan nama Menteri Pertahanan Prabowo Subianto di posisi tertinggi dengan elektabilitas 18,1 persen dalam kategori pertanyaan capres semi terbuka.

Dalam survei yang sama, juga ada nama Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiaga Uno (4,8 persen), Menteri Sosial Tri Rismaharini alias Risma (2,3 persen), Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamananan Mahfud MD (1,1 persen), Menteri BUMN Erick Thohir (1 persen).

Selain itu, ada nama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto (0,3 persen), hingga Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian (0,1 persen).

Sementara, Prabowo Subianto, yang juga Ketua Umum Partai Gerindra, konsisten sebagai capres terkuat setidaknya dalam sejumlah survei dalam enam bulan terakhir.

Sejauh ini, belum ada pernyataan resmi langsung dari para menteri itu soal keinginannya maju di 2024. Pencapresan Prabowo hanya digadang-gadang oleh Sekjen Gerindra Ahmad Muzani dan belum menjadi keputusan resmi partai.

Airlangga baru dipromosikan sebagai capres tunggal dari Partai Golkar oleh para pengurus DPP. Sementara, Risma mengaku tak berpikir untuk nyapres karena "enggak punya duit".

Peneliti politik dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Wasisto Raharjo Jati menyatakan tak semua nama-nama menteri yang kerap meramaikan bursa capres itu baru bisa benar-benar maju di 2024 jika memenuhi setidaknya tiga syarat.

Pertama, menteri itu merupakan ketua umum partai politik; kedua, bagian dari penggalang dana atau fundraiser suatu partai politik; dan ketiga, memiliki popularitas yang lebih tinggi dari partai politik.

"Terkait dengan figur, saya pikir yang potensial jelas Pak Prabowo. Karena memang mempunyai Gerindra, yang juga sebagai parpol di DPR dan bagian dari koalisi pemerintahan. Jadi kalau di lihat dari kalkulasi politik, dibandingkan dengan Sandiaga atau Risma saya pikir Pak Prabowo ada di depan," kata Jati saat dihubungi CNNIndonesia.com, Senin (18/10).

Namun demikian, jika ditinjau dari aspek kebijakan, ia menilai Prabowo bakal kalah dari sejumlah menteri yang memiliki kebijakan berdampak langsung pada masyarakat.

"Misal Pak Sandiaga Uno itu menggerakkan sektor pariwisata di tengah pandemi atau Bu Risma yang gencar membagikan bansos. Nah itu bisa dikapitalisasi menjadi alat elektabilitas kedua figur ini," katanya.

Jati menilai tindakan memanfaatkan kebijakan yang nantinya berdampak pada kapasitas personal lazim disebut sebagai politik gentong babi.

"Dalam politik itu lazim dikenal sebagai politik gentong babi. Jadi suatu kesempatan bagi seorang incumbent untuk bisa menyelipkan program personal menjadi program pemerintah," katanya.

Terpisah, Peneliti dari Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Heroik M. Pratama, dikutip dari situs rumahpemilu.org, menyebut politik gentong babi alias pork barrel ini berpotensi memicu jual beli suara.

Mengutip studi Scaffer (2007), karakter utama pork barrel adalah pemanfaatan dana publik untuk disalurkan kepada pihak atau kelompok tertentu dalam bentuk program, hibah, bansos, atau proyek.

Bersambung ke halaman berikutnya...

Nilai Tukar Suara dan Pemanfaatan Status Petahana


BACA HALAMAN BERIKUTNYA
HALAMAN :