Heroik mencontohkannya dengan peningkatan penyaluran bansos. Ia menyebut itu memang bukan berasal dari kantong pribadi kandidat dan dilakukan melalui cara legal sesuai prosedur keuangan. Namun, pemanfaatannya jelang pesta demokrasi, "secara tidak langsung menempatkan bansos sebagai nilai tukar dengan suara pemilih."
Dalam proses pendistribusiannya, kata dia, seorang petahana dapat melakukan klaim politik dengan maksud kembali meningkatkan kepercayaan publik terhadap dirinya.
"Seorang pemilih lebih memaknai bansos sebagai hutang atas kebijakan petahana yang harus dibayar dengan cara memberikan suara di hari pemungutan suara. Bahkan terdapat pula sebagian pemilih yang beranggapan ketika petahana terpilih kembali, dirinya akan memperoleh bansos yang jauh lebih besar," tutur dia.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Menurut Heroik, praktek politik gentong babi ini memicu sejumlah dampak serius. Pertama, merusak perilaku pemilih rasional. Pemilih akan lebih mempertimbangkan untung dan rugi dari aspek materi.
"Padahal sejatinya pertimbangan untung dan rugi dari perilaku pemilih rasional lebih mengarah pada aspek rekam jejak, kapabilitas, integritas, kebijakan publik yang dihasilkan semenjak awal menjabat sampai dengan akhir," tutur dia.
Kedua, membuat proses persaingan antara kandidat menjadi tidak setara. "Dengan adanya pemanfaatan sumber daya negara, seorang kandidat petahana akan lebih mendominasi persaingan dibandingkan dengan kandidat lainnya," cetusnya.
Terpisah, Pengamat politik dari Universitas Padjadjaran Kunto Adi Wibowo mengatakan, berdasarkan sejarah pemilihan langsung di Indonesia, jalur menteri merupakan salah satu jalur yang mempunyai kesempatan untuk menjadi presiden.
Hal itu pernah terjadi ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yang sempat menjadi Menko Polhukam di pemerintahan Megawati Soekarnoputri, menang di Pemilu 2004 dan 2009.
"Kita pemilihan langsung baru dua kali menghasilkan presiden, satunya bekas menteri dan satunya bekas gubernur atau kepala daerah. Jadi kalau dari sejarah dua jalur karir ini lah yang punya kesempatan untuk jadi presiden," kata Kunto.
Dia berpendapat sah-sah saja jika para menteri mencari panggung untuk mendorong elektabilitasnya di 2024. Namun begitu, akan ada potensi kinerja pemerintahan terganggu jika para menteri tidak lagi fokus bekerja.
"Publik akhirnya akan menilai kalau si menteri itu bekerja untuk elektabilitas dan akhirnya pekerjaan utama sebagai menteri terbengkalai, ya publik pasti akan menghukum dia pasti. Karena akhirnya akan ketauan," katanya.
Jati menimpali Jokowi tetap perlu mengambil langkah agar para menterinya tetap fokus bekerja jelang Pilpres 2024.
"Monumen politik itu berupa IKN. Itu yang akan membuat para menteri ini fokus ke arah sana. Karena itu menjadi proyek monumental Jokowi yang lintas sektor. Jadi semua menteri itu wajib untuk dukung itu," katanya.
Terlepas dari itu, Kunto menyebut posisi petahana tak melulu memberi dampak positif jika tak dikelola dengan tepat.
"Nyatanya bu Mega gagal mengelolanya. Ketika bu mega maju dan kalah dari Pak SBY. Saya pikir PDIP dan Pak Jokowi sudah punya pengetahuan tentang ini dan pasti mereka akan lebih canggih mengelola politik ini. Apalagi sebentar lagi katanya mau reshuffle," ujar Kunto.
(yoa/arh)