Selain Muatip, Muza (24) salah seorang penjual minuman keliling di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan juga menyampaikan penolakan serupa.
Meski baru pertama kali mendengar rencana tersebut, Muza mengaku tidak setuju dengan langkah pemerintah pusat yang diamanatkan ke Pemerintah Provinsi DKI Jakarta itu. Ia juga menilai pemerintah juga tidak wajib untuk melakukan perubahan nama jalan tersebut.
Menurutnya, sosok Attaturk yang sekuler juga tidak mencerminkan nilai-nilai bangsa Indonesia yang menjunjung tinggi pancasila.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Enggak setuju lah, untuk apa juga pakai nama tokoh asing seperti itu. Apalagi tokohnya sekuler gitu, kan tidak sesuai," ujarnya.
Ketimbang mengganti nama ruas jalan tersebut dengan tokoh asing, menurutnya lebih baik pemerintah memakai nama tokoh-tokoh bangsa ataupun mereka yang telah berjuang dalam proses kemerdekaan negeri ini. Untuk hal tersebut, kata dia yakin, pemerintah tidak kekurangan nama-nama tokoh yang dapat diabadikan sebagai salah satu ruas jalan di Indonesia.
"Sebaiknya nama-nama pahlawan atau tokoh kita sendiri saja. Karena masyarakat aja sekarang ini banyak gak tau asal usul pemberian nama jalan atau kisah-kisah mereka semasa hidup," imbuhnya.
![]() |
Lain halnya dengan tiga warga sebelumnya, salah seorang pedagang asongan di kawasan Monas, Jakarta Pusat, Mulyadi (38) mengaku tidak keberatan dengan rencana pemerintah tersebut.
Mulyadi menilai, tidak ada yang berubah meskipun ruas jalan tersebut menggunakan nama tokoh asing. Menurutnya, jalan tersebut tetaplah sama seperti ruas-ruas jalan lainnya yang ada di Jakarta.
"Setuju-setuju aja sih, apalagi itu kan memang perjanjian antardua negara. Emang masing-masing negara saling menggunakan tokohnya, kecuali tokoh kita tidak digunakan di sana," ujarnya.
Lebih pragmatis, ia menilai perubahan nama jalan menjadi tokoh asing maupun tokoh Indonesia itu tak akan memberikan pengaruh besar bagi rakyat kecil.
"Lagipula mau berubah atau tidak juga tidak ada pengaruhnya sama kita-kita orang. Enggak bakal buat dagangan kita langsung habis kalau jualan di sana," imbuhnya.
Kendati demikian, Mulyadi menyarankan agar pemerintah dapat memilih tokoh Turki lainnya yang akan digunakan sebagai nama ruas jalan. Hal ini menurutnya diperlukan guna meminimalisir konflik yang ada di masyarakat.
"Ya kita kan gak kepingin cuma gara-gara nama jalan aja malah bisa jadi ribut yang gede-gede di masyarakat," katanya.
![]() |
Wakil Gubernur DKI Jakarta Ahmad Riza Patria menerima kritik dari sejumlah pihak ihwal rencana tokoh Turki Mustafa Kemal Ataturk dijadikan nama jalan di ibu kota. Dia mengatakan bakal mencari solusi.
"Insyaallah pemerintah akan mencarikan solusi yang terbaik, supaya baik bagi semua termasuk hubungan kita dengan pemerintah Turki menjadi lebih baik," kata Riza di Balai Kota DKI, Senin.
Pada hari yang sama, Menko PMK Muhadjir Effendy menyebut rencana pemberian nama tokoh pembaharu Islam asal Turki, Mustafa Kemal Ataturk untuk jalan di Jakarta adalah fatsun diplomatik. Fatsun dipolmatik adalah tata krama diplomatik sebagai komitmen untuk membuktikan kedekatan kedua negara.
Hal itu sebelumnya sempat disampaikan Dubes RI untuk Ankara, Lalu M Iqbal, apalagi Turki juga telah memberi nama jalan di depan KBRI Ankara dengan nama Presiden RI pertama, Ir Soekarno.
"Sesuai dengan penjelasan Dubes RI di Ankara, pemberian nama jalan itu terkait dengan fatsun diplomatik," kata Muhadjir lewat pesan singkat kepada CNNIndonesia.com.
(tfq/kid)