Setidaknya empat sampai lima hari lamanya banjir di Samarinda, Kalimantan Timur mulai surut sejak awal pekan lalu pascacurah hujan yang tinggi.
Menurut pengamat lamanya durasi banjir di sejumlah titik ibu kota provinsi Kaltim itu tak lepas dari limpahan air sungai setelah hujan, juga karena rusaknya ruang sungai di kawasan hulu dan tengah.
"Ruang sungai atau daerah aliran sungai (DAS) itu meliputi gunung, bukit, lembah, rawa, dan titik yang paling dekat dengan sungai, yakni riparian," ujar Misman yang juga Ketua Gerakan Memungut Sehelai Sampah di Sungai Karang Mumus (GMSS-SKM) di Samarinda, Minggu (24/10) seperti dikutip dari Antara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sayangnya, gunung dan bukit digunduli, pohonnya ditebang, sehingga ketika hujan turun, maka tidak ada akar pohon yang dapat menyerap air hujan, sehingga air langsung terjun bebas ke pemukiman warga.
Parahnya lagi, bukit di ruang sungai justru banyak yang dipangkas, kemudian tanahnya untuk menguruk rawa demi permukiman, sehingga ini merupakan perilaku perusakan lingkungan ganda, karena rawa yang diuruk pun berada di ruang sungai.
Lihat Juga : |
Menurut Misman, DAS Karang Mumus yang memiliki luas 316,22 km2 atau 31.622 hektare dengan keliling sebesar 103,26 km tersebut awalnya memiliki ratusan rawa. Namun, seiring perkembangan dan pembangunan yang tidak ramah ruang sungai, maka kini yang tersisa hanya beberapa rawa--itu pun sudah dikuasai warga.
Ia menegaskan bahwa keberadaan rawa dan bukit dalam DAS sangat vital untuk mengurangi banjir (bukan mencegah). Pasalnya, air hujan tidak langsung terbuang ke sungai, tapi ditampung di rawa dan akar-akaran di perbukitan.
"Dari rawa dan perbukitan, air akan dialirkan secara perlahan ke sungai sehingga tidak terjadi limpahan air terlalu besar. Ini adalah pekerjaan alam per detik, manusia tidak akan sanggup menggantikan, maka kita jangan mimpi bisa mengatasi banjir jika ruang sungai masih rusak," ucap Misman.
Keberadaan rawa dan bukit yang masih terawat atau tidak dirusak manusia juga untuk menjaga kualitas, kuantitas, dan kontinuitas sungai, yakni sungai tetap mengalir meski musim kemarau.
"Tidak seperti sekarang, di musim hujan limpahan air begitu kuat yang akhirnya terjadi banjir. Sedangkan di musim kemarau, sungai mengering karena tidak ada aliran dari rawa maupun perbukitan akibat ruang sungai kita memang rusak parah," tutur Misman.
Untuk diketahui, sejumlah wilayah di Samarinda tergenang banjir sejak awal pekan ini dan baru mulai surut sekitar empat sampai lima hari kemudian. Salah satu yang mengalami surut cukup lama adalah di wilayah Bengkuring dan Pemuda.
"Di Bengkuring, rumahku kemarin terendam cukup dalam, tapi tadi sudah turun sekitar 30 cm, tersisa 10 cm," ujar Wiwid Marhaendra, pemilik rumah di Jalan Pakis, Perumahan Bengkuring Samarinda, Jumat (22/10).
Meski tinggi muka air di rumahnya tersisa sekitar 10 cm, namun rumah tersebut belum dibersihkan karena khawatir air akan naik lagi. Apalagi, sambungnya kala itu, masih ada prakiraan hujan di kawasan hulu Sungai Karang Mumus (SKM).
Banjir yang melanda sejumlah kawasan di Samarinda saat ini memang tingginya tidak merata, karena tergantung limpahan hujan dari hulu yang dialirkan melalui SKM, sehingga yang pertama banjir adalah pemukiman penduduk di bantaran SKM kawasan hulu dengan dataran rendah.
"Seperti awal banjir di Bengkuring tiga hari lalu. Sehari sebelumnya yang aku tahu adalah banjir di kawasan Pampang, daerah paling hulu di Samarinda yang dekat bantaran SKM. Waktu itu di Bengkuring masih aman, paling banjir sedikit akibat hujan," kata Wiwid.
Namun sehari kemudian, lanjutnya, Bengkuring banjir karena dapat kiriman dari hulu. Air terus melimpah melalui SKM ke Sempaja hingga ke kawasan Pemuda yang memang dataran rendah di bantaran SKM.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kota Samarinda mendata setidaknya sebanyak 9.444 warga lima kelurahan di dua kecamatan di wilayah tersebut yang terdampak banjir pekan lalu.