Surabaya, CNN Indonesia --
Juni 2021 sudah berlalu, tapi mungkin tidak bagi Mega Mustika dan keluarganya. Warga Tandes, Surabaya itu harus menghadapi kenyataan pahit.
Ayah Mega, Sudirman dinyatakan wafat akibat Covid-19 saat menjalani perawatan di Rumah Sakit Angkatan Laut (RSAL) dr Ramelan, Surabaya, pada 13 Juni lalu.
Mega juga makin terpukul, saat mengetahui kematian ayahnya itu ternyata tak tercatat dalam laporan harian yang dirilis pemerintah.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
Sepanjang Juni-Juli lalu Satgas Penanganan Covid-19 Jawa Timur dan Surabaya, kerap merilis tanggal nol kematian. Hal itu terjadi pada 1, 2, 4, 6, 7, 8, 10, 13, 15, 16, 19 serta 21 Juni. Kemudian di bulan selanjutnya nol kasus kematian juga ditemukan pada 14 dan 18 Juli 2021.
Semua itu bermula di awal Juni lalu. Saat itu Mega mendapatkan kabar dari ayahnya yang mendadak mengeluh tak enak badan sepulang bekerja di Ngoro, Mojokerto, Jawa Timur. Ayahnya mengaku sesak nafas dan demam tinggi.
Berbagai upaya dilakukan Mega dan keluarganya. Mulai membeli obat apotek dengan harga selangit, menyewa oksigen dengan harga tinggi dan tarif isi ulang yang mahal, sampai tes swab ke rumah sakit. Semua upaya mereka lakukan dengan biaya sendiri dan uang hasil pinjaman. Ia mengaku keluarganya tak berkecukupan secara finansial.
Ayah Mega dinyatakan positif Covid-19 saat menjalani tes swab antigen di sebuah rumah sakit swasta di Surabaya. Saat itu Sudirman juga mengalami gejala berat. Tapi ayahnya tak bisa mendapatkan perawatan, lantaran pihak rumah sakit enggan menerima pasien dengan klaim BPJS. Terpaksa mereka pun harus pulang karena tak ada biaya.
"Di sana mereka menerima pasien Covid-19 tapi harus bayar secara umum, tidak di-cover oleh BPJS. Akhirnya kami putuskan pulang karena tidak ada biaya, karena di RS itu biayanya per harinya kisaran belasan sampai puluhan juta," ujar Mega bercerita.
Mereka kemudian menjalani tes swab PCR di puskesmas setempat. Tapi kondisi Sudirman sudah kadung memburuk. Mega kemudian melarikan ayahnya ke RSUD Bhakti Dharma Husada (BDH) Surabaya.
Namun karena kondisinya berat dan harus segera membutuhkan pertolongan yang lebih memadai, Sudirman kemudian dilarikan ke RSAL Surabaya.
 Keluarga Mega Mustika, mengenang Almarhum Sudirman. (CNN Indonesia/Farid) |
Mega sendiri juga dinyatakan positif Covid-19 dan harus menjalani isolasi di RSUD Bhakti Dharma Husada, Surabaya. Selama dirawat, ia terus berkomunikasi dengan sang ayah. Tapi hal itu berlangsung selama beberapa hari saja. Hingga pada satu hari, di tengah perawatannya, ponsel Mega mendapatkan beberapa pesan belasungkawa.
Ia bingung, dan bertanya balik ke pengirim pesan. "Siapa yang meninggal?" tanya Mega. Namun pesannya itu tak kunjung dibalas. Mega pun berpikir bahwa ucapan simpati dari kawannya tersebut hanyalah bentuk dukungan kepada keluargnya yang sedang mengalami musibah terjangkit virus corona.
Tapi, setelah dinyatakan negatif dan dokter memperbolehkannya kembali ke rumah, barulah Mega tahu, bahwa Sudirman telah pergi pada tujuh hari sebelum kepulangannya, tepatnya pada 13 Juni 2021.
Tangis Mega pun pecah. Tubuhnya lemas, ambruk hingga akhirnya pingsan.
"Saat itu saya baru tahu kalau ayah saya sudah meninggal 7 hari lalu, itu pun saya tahu dari saudara saya. Saya nangis, lemas, sampai pingsan," ujar Mega.
Sepeninggal ayahnya, Mega mengatakan perekonomian keluarganya kian sulit dan terhimpit. Mereka sampai terlilit utang. Sebab, selama ini Sudirman adalah tulang punggung keluarga.
Kehilangan ayahnya, bagi Mega, sama dengan kehilangan penyangga. Bahkan, untuk menebus ijazah adiknya yang baru lulus SMA saja, Mega bingung harus bagaimana.
Tabungan keluarganya, kata Mega, sudah terkuras habis untuk menebus obat hingga melunasi tunggakan tagihan BPJS sebelum mendiang dirawat di rumah sakit. Belum lagi biaya makan serta obat-obatan selama keluarganya isolasi mandiri.
Kini, hidup mereka pun ditopang oleh gaji pas-pasan suaminya yang merupakan pekerja harian. Untuk biaya tambahan, Mega dan ibunya pun harus berjualan makanan ringan kecil-kecilan di kampung mereka tinggal.
Tak Masuk Data Kematian
Mega mencari tahu soal santunan yang dijanjikan Pemerintah Provinsi Jawa Timur kepada keluarga pasien yang meninggal karena Covid-19.
Dimulai dengan mengakses data kematian Covid-19 yang dipublikasikan Satgas Penanganan Covid-19 Jatim. Namun, betapa kagetnya ia saat melihat bahwa ternyata tak ada satupun kematian yang dicatat pada hari kematian ayahnya, 13 Juni 2021, di Kota Surabaya.
Mega terperangah dan bingung melihat data itu. Padahal, menurut Mega, kematian ayahnya telah disertai dengan surat keterangan dari rumah sakit yang menyatakan bahwa Sudirman wafat karena infeksi Covid-19. Sudirman juga sudah dinyatakan positif Covid-19 berdasarkan hasil PCR.
"Ayah saya meninggal karena Covid-19 dan itu ada suratnya, benar-benar meninggal di tanggal 13 Juni 2021, tapi saya cek tidak ada," ucapnya.
Untuk memperoleh kejelasan tentang pencatatan kematian ayahnya, 16 September 2021 lalu, Mega pun mengirim surat ke Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi. Di surat itu Mega mempertanyakan mengapa di hari kematian ayahnya pemerintah justru tak melaporkan satu pun kematian di dalam data yang dipublikasikan.
 Infografis Kematian Covid-19 Melonjak saat PPKM Darurat. (CNN Indonesia/Asfahan Yahsyi) |
Mega mencurahkan kekecewaanya. Ia merasa pemerintah tak mengaggap dan telah menutup-nutupi kematian ayahnya, yang meninggal akibat infeksi virus corona.
Tetapi, tiga hari setelah mengirimkan surat itu, tiga orang yang mengaku berasal dari instansi pemerintahan mendatangi rumah Mega di bilangan Tandes, Surabaya. Alih-alih memberi kejelasan, tiga orang tersebut malah mencecar Mega dengan pertanyaan, "Dari mana kamu dapat data?".
Tiga orang itu bahkan menertawakan Mega, saat ia memperlihatkan data kematian yang dipublikasikan oleh Satgas Penanganan Covid-19 Jatim, kepada mereka.
"Saya sangat-sangat kecewa, sangat sedih sekali karena merasa kematian ayah saya tidak dianggap, atau dipikir mengada-ngada tentang Covid-19," kata Mega, terisak.
Padahal, dalam data kematian yang didapat tim kolaborasi jurnalis, melalui pengajuan permohonan ke Pejabat Pengelola Informasi & Dokumentasi (PPID) Surabaya, data kematian yang dirilis Satgas Penanganan Covid-19 Jatim yang diperlihatkan Mega kepada tiga petugas itu sinkron dengan data kematian yang dicatat Dinas Kesehatan Kota Surabaya.
Artinya di 13 Juni 2021, pemerintah tak mencatatkan kematian karena Covid-19 sama sekali, termasuk Sudirman.
Sudirman tidak sendiri, ada pula NH, seorang warga Sawahan, Surabaya. NH dinyatakan meninggal dunia saat dirawat di RS Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, 18 Juli 2021 lalu. Kematian NH, diketehaui CNNIndonesia.com dan tim kolaborasi jurnalis di Surabaya, melalui data yang didapat dari sumber internal di Pemkot Surabaya.
FH, suami NH mengaku baru mengetahui bahwa kematian istrinya itu tak dicatat dalam data harian yang dilaporkan Satgas Penanganan Covid-19 Jatim, maupun Satgas Penanganan Covid-19 Surabaya. Hal itu membuatnya terpukul. Ia mengatakan bahwa NH meninggal beberapa hari setelah melahirkan anak pertama mereka secara caesar.
"Saya baru tahu," kata FH, kepada CNNIndonesia.com.
FH bercerita bahwa istrinya itu mengalami gejala Covid-19 setelah merawat dirinya yang lebih dulu sakit. Saat itu FH terpaksa harus menjalani isolasi mandiri di rumah lantaran ia kesulitan mencari ketersediaan ruang perawatan di rumah sakit.
Sepekan berlalu sejak FH mengalami gejala, kondisi sang istri kemudian ikut memburuk. Ia lalu mencoba membawa NH ke rumah sakit.
Tapi, mencari ruang perawatan di bulan-bulan itu adalah hal yang hampir mustahil menurutnya, seluruh rumah sakit di Surabaya nyaris penuh. Ia bahkan sampai mencari ruang perawatan ke sejumlah rumah sakit di Kabupaten Gresik. Hasilnya, tetap nihil.
"Kami diminta rawat jalan, karena rumah sakit saat itu sedang penuh-penuhnya," ujarnya.
Tapi FH tak mau menyerah. Ia lalu membawa NH ke rumah sakit di bilangan Manyar, Surabaya. Di sana istrinya menjalani tes swab antigen dan ct scan thorax lebih dulu.
[Gambas:Photo CNN]
Benar saja, NH dinyatakan positif corona, kondisinya juga didiagnosa makin memberat dan harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebih memadai.
"Langsung dirujuk ke RS Unair, swab PCR tanggal 5 Juli, tanggal 7 keluar, dan dinyatakan positif Covid-19," ucapnya.
Tapi, dokter mengatakan bahwa kondisi istrinya terus memberat. NH pun terpaksa harus menjalani operasi caesar di usia kandungan yang ke 7 bulan. Pilihan berat harus diambil FH saat itu. Ia hanya berpikir istri dan anaknya harus segera diselamatkan.
"Kondisinya hamil ke 7 bulan mau ke 8 bulan. Karena istri saya hamil terus dokter bilang harus di-caesar, itu tanggal 7 Juli," katanya.
Pascaoperasi NH lalu diisolasi di ruang ICU dengan ventalitor terpasang di saluran pernafasannya. Begitu juga si jabang bayi yang baru saja lahir, dia juga harus menjalani isolasi, untuk diobservasi kondisinya. Anaknya itu pun harus menjalani swab PCR. Kecemasan FH berkali-kali lipat.
Hari demi hari, FH menunggu istrinya siuman pascaoperasi. Tapi penantian itu, kata dia, seperti tak pernah berujung hingga sekarang. Sebab NH telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.
Di hari ke 12 istrinya dirawat di ICU, nyawa NH tak tertolong. Dokter bilang paru-parunya istrinya tak merespons keberadaan ventilator. Jantungnya juga tak berdetak meski telah ditangani dengan alat pacu jantung.
"Setelah dicaesar sempat normal, saturasi oksigen kata dokter juga bagus, sudah bisa bergerak biusnya sudah selesai, sadar empat harian. Tapi Minggu pagi enggak ada, saturasinya drop," ucapnya.
FH juga makin sesak saat mengetahui bahwa kematian istrinya itu ternyata tak dicatat dalam data yang dirilis Satgas Penanganan Covid-19. Ia tidak percaya, pemerintah tega melakukan hal itu kepada istrinya, kepada keluarganya.
Padahal, kata FH, matanya sendiri menjadi saksi, bahwa di hari pemakaman sang istri, tanggal 18 Juli, di TPU Babat Jerawat, banyak jenazah-jenazah lain antre untuk dimakamkan. Barisan ambulans pun sesak memadati jalan sempit di area pemakaman.
"Di tanggal 18 Juli 2021 itu, di TPU Babat Jerawat (pemakaman khusus Covid-19) itu ambulans antre, makam-makam berderet. Saya juga dapat surat kematian istri saya dibilang meninggal karena wabah. Saya mohon pemerintah transparan saja," kata FH.
*Laporan ini adalah hasil kolaborasi beberapa jurnalis di Kota Surabaya (Miftah Faridl Koresponden CNN Indonesia TV, Reno Surya Jurnalis Project Multatuli, Farid Rahman Jurnalis CNNIndonesia.com, Ardiansyah Fajar reporter IDN Times dan Rangga Prasetya penulis Volkpop)