Badai Nestapa Keluarga saat Kematian Covid Tak Tercatat di Surabaya

CNN Indonesia
Sabtu, 30 Okt 2021 09:54 WIB
Beberapa keluarga heran, kasus kematian terkait Covid-19 tak dicatat pemerintah. Bahkan pada hari kematian, pemerintah justru menyebut nihil.
Foto ilustrasi. (CNN Indonesia/Adi Maulana)

Mega mencurahkan kekecewaanya. Ia merasa pemerintah tak mengaggap dan telah menutup-nutupi kematian ayahnya, yang meninggal akibat infeksi virus corona.

Tetapi, tiga hari setelah mengirimkan surat itu, tiga orang yang mengaku berasal dari instansi pemerintahan mendatangi rumah Mega di bilangan Tandes, Surabaya. Alih-alih memberi kejelasan, tiga orang tersebut malah mencecar Mega dengan pertanyaan, "Dari mana kamu dapat data?".

Tiga orang itu bahkan menertawakan Mega, saat ia memperlihatkan data kematian yang dipublikasikan oleh Satgas Penanganan Covid-19 Jatim, kepada mereka.

"Saya sangat-sangat kecewa, sangat sedih sekali karena merasa kematian ayah saya tidak dianggap, atau dipikir mengada-ngada tentang Covid-19," kata Mega, terisak.

Padahal, dalam data kematian yang didapat tim kolaborasi jurnalis, melalui pengajuan permohonan ke Pejabat Pengelola Informasi & Dokumentasi (PPID) Surabaya, data kematian yang dirilis Satgas Penanganan Covid-19 Jatim yang diperlihatkan Mega kepada tiga petugas itu sinkron dengan data kematian yang dicatat Dinas Kesehatan Kota Surabaya.

Artinya di 13 Juni 2021, pemerintah tak mencatatkan kematian karena Covid-19 sama sekali, termasuk Sudirman.

Sudirman tidak sendiri, ada pula NH, seorang warga Sawahan, Surabaya. NH dinyatakan meninggal dunia saat dirawat di RS Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, 18 Juli 2021 lalu. Kematian NH, diketehaui CNNIndonesia.com dan tim kolaborasi jurnalis di Surabaya, melalui data yang didapat dari sumber internal di Pemkot Surabaya.

FH, suami NH mengaku baru mengetahui bahwa kematian istrinya itu tak dicatat dalam data harian yang dilaporkan Satgas Penanganan Covid-19 Jatim, maupun Satgas Penanganan Covid-19 Surabaya. Hal itu membuatnya terpukul. Ia mengatakan bahwa NH meninggal beberapa hari setelah melahirkan anak pertama mereka secara caesar.

"Saya baru tahu," kata FH, kepada CNNIndonesia.com.

FH bercerita bahwa istrinya itu mengalami gejala Covid-19 setelah merawat dirinya yang lebih dulu sakit. Saat itu FH terpaksa harus menjalani isolasi mandiri di rumah lantaran ia kesulitan mencari ketersediaan ruang perawatan di rumah sakit.

Sepekan berlalu sejak FH mengalami gejala, kondisi sang istri kemudian ikut memburuk. Ia lalu mencoba membawa NH ke rumah sakit.

Tapi, mencari ruang perawatan di bulan-bulan itu adalah hal yang hampir mustahil menurutnya, seluruh rumah sakit di Surabaya nyaris penuh. Ia bahkan sampai mencari ruang perawatan ke sejumlah rumah sakit di Kabupaten Gresik. Hasilnya, tetap nihil.

"Kami diminta rawat jalan, karena rumah sakit saat itu sedang penuh-penuhnya," ujarnya.

Tapi FH tak mau menyerah. Ia lalu membawa NH ke rumah sakit di bilangan Manyar, Surabaya. Di sana istrinya menjalani tes swab antigen dan ct scan thorax lebih dulu.

Benar saja, NH dinyatakan positif corona, kondisinya juga didiagnosa makin memberat dan harus dirujuk ke rumah sakit dengan fasilitas yang lebih memadai.

"Langsung dirujuk ke RS Unair, swab PCR tanggal 5 Juli, tanggal 7 keluar, dan dinyatakan positif Covid-19," ucapnya.

Tapi, dokter mengatakan bahwa kondisi istrinya terus memberat. NH pun terpaksa harus menjalani operasi caesar di usia kandungan yang ke 7 bulan. Pilihan berat harus diambil FH saat itu. Ia hanya berpikir istri dan anaknya harus segera diselamatkan.

"Kondisinya hamil ke 7 bulan mau ke 8 bulan. Karena istri saya hamil terus dokter bilang harus di-caesar, itu tanggal 7 Juli," katanya.

Pascaoperasi NH lalu diisolasi di ruang ICU dengan ventalitor terpasang di saluran pernafasannya. Begitu juga si jabang bayi yang baru saja lahir, dia juga harus menjalani isolasi, untuk diobservasi kondisinya. Anaknya itu pun harus menjalani swab PCR. Kecemasan FH berkali-kali lipat.

Hari demi hari, FH menunggu istrinya siuman pascaoperasi. Tapi penantian itu, kata dia, seperti tak pernah berujung hingga sekarang. Sebab NH telah meninggalkannya untuk selama-lamanya.

Di hari ke 12 istrinya dirawat di ICU, nyawa NH tak tertolong. Dokter bilang paru-parunya istrinya tak merespons keberadaan ventilator. Jantungnya juga tak berdetak meski telah ditangani dengan alat pacu jantung.

"Setelah dicaesar sempat normal, saturasi oksigen kata dokter juga bagus, sudah bisa bergerak biusnya sudah selesai, sadar empat harian. Tapi Minggu pagi enggak ada, saturasinya drop," ucapnya.

FH juga makin sesak saat mengetahui bahwa kematian istrinya itu ternyata tak dicatat dalam data yang dirilis Satgas Penanganan Covid-19. Ia tidak percaya, pemerintah tega melakukan hal itu kepada istrinya, kepada keluarganya.

Padahal, kata FH, matanya sendiri menjadi saksi, bahwa di hari pemakaman sang istri, tanggal 18 Juli, di TPU Babat Jerawat, banyak jenazah-jenazah lain antre untuk dimakamkan. Barisan ambulans pun sesak memadati jalan sempit di area pemakaman.

"Di tanggal 18 Juli 2021 itu, di TPU Babat Jerawat (pemakaman khusus Covid-19) itu ambulans antre, makam-makam berderet. Saya juga dapat surat kematian istri saya dibilang meninggal karena wabah. Saya mohon pemerintah transparan saja," kata FH.

*Laporan ini adalah hasil kolaborasi beberapa jurnalis di Kota Surabaya (Miftah Faridl Koresponden CNN Indonesia TV, Reno Surya Jurnalis Project Multatuli, Farid Rahman Jurnalis CNNIndonesia.com, Ardiansyah Fajar reporter IDN Times dan Rangga Prasetya penulis Volkpop)

(frd/pmg)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER