Mengutip dari situs MK, dalam lanjutan sidang uji materi UU PSDN itu Aan juga menegaskan pengaturan nonmanusia terkait Komcad: sumber daya alam, sumber daya buatan, sarana dan prasarana nasional. Menurutnya itu bertentangan dengan Pasal 30 Ayat (2) UUD 1945.
Penyebutan sumber daya alam, sumber daya buatan, serta sarana dan prasarana nasional sebagai unsur-unsur komduk dan komcad, telah menyebabkan kaburnya makna kekuatan utama dan kekuatan pendukung, sebagaimana ditentukan Pasal 30 ayat (2) UUD1945. Padahal, rumusan norma dalam Pasal 30 ayat (2) UUD 1945 itu bersifat limitatif.
Seharusnya yang dimaksud komcad dan komduk, sambung Aan, hanya sebatas sumber daya manusia yang menjadi bagian dari rakyat Indonesia dan tidak termasuk sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana lain. Pengaturan tentang sumber daya alam, sumber daya buatan dan sebagainya dalam komduk menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar prinsip inform consent, baik bagi pemilik atau pengelola sumber daya alam, sumber daya buatan dan sarana dan prasarana. Terutama ketika akan dimobilisasi dengan alasan pertahanan negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Terkait dengan penggunaan anggaran pendapatan dan belanja negara, Aan mengatakan Pasal 75 UU PSDN mengatur alokasi anggaran untuk pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara ini dapat bersumber dari APBN, APBD, serta sumber lain yang sah, padahal menurut Pasal 25 Undang-Undang Pertahanan dan Pasal 66 Undang-Undang TNI, sumber anggaran pertahanan hanya melalui APBN.
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2019 mengabaikan penggunaan anggaran yang sifatnya sentralistik. Pasal 75 huruf b dan huruf c menyebutkan bahwa pembiayaan pengelolaan sumber daya nasional untuk pertahanan negara melalui APBD dan sumber lain yang sah tidak mengikat di samping dari anggaran pendapatan dan belanja negara ini tentunya menyalahi prinsip urusan yang absolut yang dimiliki pemerintah pusat.
![]() |
Ahli pemohon yang lain, Bhatara Ibnu Reza, mengatakan UU PSDN tidak secara tegas menyatakan komcad sebagai anggota TNI, tetapi disiapkan untuk dikerahkan melalui mobilisasi guna memperbesar dan memperkuat kekuatan dan kemampuan komput dalam menghadapi ancaman militer dan ancaman hibrida. Melihat situasi tersebut, Bhatara kembali mengacu kepada hukum humaniter internasional. Salah satu prinsip fundamental dalam hukum humaniter internasional adalah prinsip pembedaan (distinction principle) antara orang sipil dan kombatan.
Menurutnya, status komcad adalah bukan kombatan dan lebih jauh dapat dikategorikan sebagai 'kombatan yang tidak sah'.
Selain itu merujuk pada Pasal 46 ayat 1 UU PSDN, Bhatara mengatakan pemberlakuan hukum militer bagi komcad di masa aktif juga menjadi bentuk penyimpangan terhadap prinsip pembedaan. Hukum humaniter internasional menuntut ketegasan status dan tidak ada wilayah abu-abu dalam prinsip pembedaan.
Kerancuan serta pengaburan, apakah anggota komcad adalah seorang sipil atau kombatan kembali muncul dari situasi seorang komcad dalam keadaan aktif atau tidak aktif. Ditambah lagi terdapat fakta UU PSDN tidak menyebutkan secara tegas komcad adalah bagian dari TNI.
Menimbang hal tersebut, Bhatara berpendapat bahwa komcad adalah orang sipil dan tidak dapat dikategorikan termasuk dalam anggota satu golongan, atau jawatan, atau badan, atau dipersamakan, atau dianggap sama layaknya sebagai prajurit TNI yang berarti tidak termasuk dalam yurisdiksi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.
Selain itu, kerancuan status komcad dalam kaitannya dengan prinsip pembedaan akan merugikan anggota komcad untuk mendapatkan perlindungan, baik sebagai penduduk sipil atau sebagai kombatan yang memiliki keistimewaan.
Lihat Juga : |