Jakarta, CNN Indonesia --
Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan para pemohon -- purnawirawan TNI dan pensiunan ASN-- yang mengajukan uji materi atas Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU 24/2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS).
Ada dua putusan atas permohonan yang diajukan dengan subyek uji materi pasal yang sama yakni Putusan Nomor 6/PUU-XVIII/2020 dan Putusan Nomor 72/PUU-XVII/2019.
Dalam dua putusan itu, mahkamah sama-sama menyatakan Pasal 57 huruf e dan Pasal 65 ayat (1) UU BPJS bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO RESUME CONTENT
"Amar putusan, mengadili, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk seluruhnya," kata Ketua MK Anwar Usman didampingi para hakim konstitusi dalam sidang saat membacakan Putusan Nomor 6/PUU-XVIII/2020, Kamis (30/9) seperti dikutip dari situs MK.
Dengan demikian, MK membatalkan pengalihan penyelenggaraan pengelolaan hak-hak pensiun ASN dari PT TASPEN kepada BPJS Ketenagakerjaan dan pengelolaan hak-hak pensiun anggota TNI/POLRI dari PT ASABRI kepada BPJS Ketengakerjaan sebagaimana diatur dalam Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) UU Nomor 24 Tahun 2011 tentang BPJS.
Mahkamah Konstitusi menilai bahwa kedua pasal tersebut akan menimbulkan kerugian konstitusional di kemudian hari bilamana 'Program Tabungan Hari Tua dan Program Pembayaran Pensiun' dialihkan kepada BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029. Alhasil, putusan MK itu menjamin ASN/TNI/POLRI untuk menerima hak-hak pensiun mereka secara utuh dan penuh.
Dalam putusan MK Nomor 72/PUU-XVII/2019 disebutkan bahwa peleburan persero yang bergerak dalam penyelenggaraan jaminan sosial menjadi BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan sesuai Pasal 57 dan Pasal 65 UU 24/2011 berlawanan atau tidak sejalan dengan pilihan kebijakan pembentuk undang-undang saat membentuk UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang menghendaki konsep banyak lembaga atau lembaga majemuk.
Imbas dari itu, konsep peralihan kelembagaan ke dalam BPJS Ketenagakerjaan menyebabkan hilangnya entitas persero yang mengakibatkan munculnya ketidakpastian hukum dalam transformasi beberapa badan penyelenggara jaminan sosial yang telah ada sebelumnya yang masing-masing mempunyai karakter dan kekhususan yang berbeda-beda.
Dalam putusannya, MK menyatakan sekalipun UU 40/2004 mengharuskan badan/lembaga yang bergerak di bidang penyelenggaraan jaminan sosial bertransformasi menjadi BPJS, namun tidak berarti badan tersebut dihapuskan dengan model atau cara menggabungkannya dengan persero lainnya yang memiliki karakter berbeda.
"Melainkan cukup hanya dengan melakukan perubahan terhadap bentuk hukum badan hukum dimaksud dan melakukan penyesuaian terhadap kedudukan badan hukum tersebut serta memperkuat regulasi yang mengamanatkan kewajiban penyelenggara jaminan sosial untuk diatur dengan undang-undang," demikian tertulis di situs MK.
Hal tersebut dilakukan demi menghindari terjadinya potensi kerugian hak-hak peserta program tabungan hari tua dan pembayaran pensiun yang telah dilakukan oleh persero sebelum dialihkan, khususnya berkaitan dengan nilai manfaat.
"Oleh karenanya, meskipun pilihan melakukan transformasi menjadi BPJS Ketenagakerjaan dimaksud merupakan kebijakan pembentuk undang-undang, namun transformasi harus dilakukan secara konsisten dengan konsep banyak lembaga yang hal itu tidak dapat dipisahkan dari karakter dan kekhususan masing-masing badan penyelenggara jaminan sosial yang berbeda-beda, sehingga mampu memberikan jaminan kepastian hukum terhadap hak atas jaminan sosial warga negara, khususnya peserta yang tergabung di dalamnya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D ayat (1) juncto Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945," kata Hakim Konstitusi Suhartoyo membacakan pertimbangan hukum dari Putusan MK Nomor 6/PUU-XVIII/2020
Buka halaman selanjutnya untuk tahu permohonan para pemohon yang merupakan purnawirawan TNI
Imbas dari dua putusan itu adalah pensiunan ASN/TNI/POLRI kini berhak menerima hak-hak pensiun mereka secara utuh dan penuh.
Untuk putusan Nomor 6/PUU-XVIII/2020 pemohonnya adalah empat purnawirawan TNI: Mayjen (Purn) Endang Hairudin, Laksma (Purn) M Dwi Purnomo, Marsma (Purn) Adis Banjere, dan Kolonel CHB (Purn) Adieli Hulu.
Dalam permohonannya, Endang dkk menganggap hak konstitusionalnya dirugikan akibat berlakunya beleid dalam UU BPJS tersebut. Pasal 65 ayat (1) UU BPJS menyatakan, "PT ASABRI (Persero) menyelesaikan pengalihan program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan program pembayaran pensiun ke BPJS Ketenagakerjaan paling lambat tahun 2029."
Seperti dikutip dari situs MK, Kamis (30/9), para pemohon mendalilkan pasal tersebut berpotensi menimbulkan kerugian hak konstitusional para Pemohon yang berlatar belakang sebagai prajurit TNI yang memiliki karakteristik risiko yang sangat berbeda dibandingkan dengan aparat negara dan atau pegawai/pekerja pada umumnya.
Mereka menyatakan kerahasiaan jabatan data pribadi walau telah nonaktif sebagai anggota TNI, merupakan hal yang harus terus dijaga. Oleh sebab itu, kerahasiaan identitas para pemohon tersebut berpotensi dirugikan apabila program Asabri dialihkan kepada BPJS Ketenagakerjaan.
Para Pemohon tidak dapat membentuk asosiasi pekerja mengingat sebagai prajurit TNI kepesertaan jaminan soisal wajib mengikuti ketentuan peraturan perundang-undangan yakni harus menjadi peserta Asabri.
Oleh karena itu, Endang dkk menyatakan sebagai peserta program Asabri, pensiunan TNI mengalami ketidakpastian hukum karena adanya potensi penurunan manfaat yang akan diterima apabila program dialihkan ke BPJS. Hal ini terjadi karena saat ini manfaat yang diterima oleh para Pemohon dari program Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia telah sesuai dengan karakter para Pemohon yang berasal dari Prajurit TNI yang telah menjalani masa pensiunnya.
Permohonan Sejumlah Pensiunan Pejabat Tinggi Negara
Sementara itu perkara pada Putusan Nomor 72/PUU-XVII/2019 dimohonkan sejumlah pensiunan pejabat tinggi negara, yaitu di antaranya mantan Ketua Mahkamah Agung Moh. Saleh, dan beberapa pensiunan PNS lain.
"Putusan Mahkamah Konstitusi hari ini sangat menggembirakan para ASN/Anggota TNI/POLRI, karena masa depan pensiun mereka kembali dijamin penuh yang dibayarkan oleh PT TASPEN ketika mereka pensiun," kata Kuasa Hukum Pemohon Andi Asrun seperti dikutip dari Antara.
MK menyatakan bahwa para pemohon memang dirugikan dengan adanya ketentuan Pasal 57 huruf (f) dan Pasal 65 ayat (2) UU 24/2011, karena ketentuan pasal-pasal a quo menuntut agar TASPEN tidak lagi menyelenggarakan "Program Tabungan Hari Tua dan Pembayaran Pensiun" selambat-lambatnya tahun 2029.
"Menyatakan Pasal 57 huruf f dan Pasal 65 ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 116, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat," demikian amar putusan dibacakan Ketua MK Anwar Usman, Kamis.
Kedua pasal tersebut telah menimbulkan ketidakpastian (uncertainty) bagi Para Pemohon terhadap pelaksanaan hak konstitusionalnya untuk mendapatkan "jaminan sosial" sebagaimana diatur dalam Pasal 28H ayat (3) dan Pasal 34 ayat (2) UUD 1945.
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi mengabulkan seluruh permohonan para Pemohon dan menyatakan bahwa kedua pasal tersebut bertentangan dengan UUD 1945, serta tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.
Dalam pertimbangan hukum mahkamah yang dibacakan hakim MK Saldi Isra, mereka menyatakan jika setiap warga negara berhak mendapatkan penghidupan yang layak dan memilih pekerjaan sesuai kemampuannya sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (2) dan Pasal 28C ayat (1) UUD 1945. Dalam hal ini, sambungnya, saat seseorang telah memilih untuk bekerja pada pekerjaan tertentu, maka segala hak, kewajiban, dan risiko atas pilihan pekerjaan tersebut akan ditanggung sepenuhnya oleh yang bersangkutan.
Sementara itu, sambung Saldi, jika dikaitkan dengan mandat negara untuk mengembangkan sistem jaminan sosial ini, maka penyelenggaraan sistem jaminan sosial tersebut pun dapat beragam sesuai dengan karakter masing-masing pekerjaan yang dipilih warga negara. Oleh karena itu, pengubahan desain kelembagaan penyelenggara jaminan sosial yang telah berjalan dengan likuidasi atau penggabungan menjadi satu badan tersebut, akan berakibat pada munculnya ketidakpastian hukum bagi orang-orang yang telah memilih untuk mengikuti program jaminan hari tua dan dana pensiun pada lembaga yang telah berjalan.