Menurut Hatma, banjir bandang di Kota Batu, Jawa Timur pada 4 November kemarin terjadi karena curah hujan tinggi atau lebih dari 100 mm yang berdampak hingga bagian hulu sebagai Daerah Tangkapan Air (DTA).
Kata Hatma, kondisi topografi pada DTA pemasok air banjir didominasi oleh lereng curam sampai dengan sangat curam di bagian hulu dengan Tipologi DAS membulat. Sementara jarak antara hulu dengan daerah terdampak banjir memerlukan waktu kurang lebih 4 jam sehingga aliran limpasan cukup cepat mencapai daerah terdampak banjir.
"Perubahan tutupan lahan yang masif pada bagian hulu DAS dengan peruntukan lahan pertanian (dominan di luar kawasan hutan) menyebabkan berkurangnya kemampuan tanah menahan (meresapkan) air terutama pada lahan miring dan curam," katanya.
Pada wilayah terdampak, kata Hatma, terlihat material terbawa berupa patahan kayu hitam seperti bekas terbakar. Ini mengindikasikan terdapat bendung alami yang ambrol di lereng Gunung Arjuno, biasa disebabkan oleh adanya kejadian longsor sebelumnya yang materialnya kemudian menutup alur sungai dan membentuk bendungan alami yang labil.
"Akibat akumulasi aliran sungai yang terbendung maka bendungan alami yang labil tersebut jebol dan menyebabkan terjadi banjir bandang," ujarnya.
Sebelumnya, Menteri KLHK Siti Nurbaya menyatakan emisi karbon dan deforestasi tak bisa menjadi alasan untuk menghambat pembangunan besar-besaran di era Presiden Joko Widodo.
Hal tersebut diungkap Siti saat memenuhi undangan Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) di Universitas Glasgow, Skotlandia, Selasa (2/11). Siti menyatakan FoLU Net Carbon Sink 2030 tak bisa diartikan sebagai nol deforestasi (zero deforestation).
Ia menegaskan hal tersebut perlu dipahami semua pihak atas nama kepentingan nasional. Melalui agenda FoLU Net Carbon Sink, katanya, Indonesia menegaskan komitmen mengendalikan emisi dari sektor kehutanan dan penggunaan lahan sehingga terjadi netralitas karbon sektor kehutanan (di antaranya berkaitan dengan deforestasi) pada tahun 2030.
"Bahkan pada tahun tersebut dan seterusnya bisa menjadi negatif, atau terjadi penyerapan/penyimpanan karbon sektor kehutanan. Oleh karena itu pembangunan yang sedang berlangsung secara besar-besaran era Presiden Jokowi tidak boleh berhenti atas nama emisi karbon atau atas nama deforestasi,'' tegas Siti dalam siaran persnya, Rabu (3/11).
Belakangan usai pernyataannya itu menuai banjir kritik, Siti mengeluarkan statement setiap pembangunan harus memperhatikan keseimbangan sebagaimana pesan Jokowi. Menurutnya, pembangunan seharusnya mempertimbangkan aspek lingkungan.
Gubernur Kalimantan Barat Sutarmidji mengakui deforestasi dan pertambangan adalah penyebab bencana banjir yang menerjang beberapa wilayahnya belakangan ini, termasuk Sintang.
Sutarmidji menyebut hutan-hutan di Kalbar sudah habis lantaran Izin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman Industri (IUPHHK-HTI) banyak diberikan kepada perusahaan. Sehingga, lahan konsesi lebih banyak dibanding dengan hutan yang ada.
Apalagi, kata Sutamidji, pemberian HTI itu dibarengi dengan manajemen dan pengawasan yang yang buruk. Ia mengungkapkan, banyak perusahaan yang menebang kayu sembarangan dan tidak bertanggung jawab.
(kum/fra)