Terdakwa kasus penyebaran berita bohong Jumhur Hidayat mengaku masih pikir-pikir untuk banding vonis 10 bulan dari Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel).
Beberapa saat setelah membacakan amar putusan, Ketua Majelis Hakim PN Jaksel Hapsoro Restu Widodo mempertanyakan sikap para pihak atas putusan tersebut.
"Terdakwa, penuntut umum punya hak menerima putusan. Kalau tidak menerima [bisa ajukan banding]," kata dia, di ruang sidang utama PN Jaksel, Kamis (11/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Merespons pertanyaan hakim, kuasa hukum Jumhur, Oky Wiratama Siagian, mengatakan pihaknya akan memikirkannya terlebih dahulu.
"Setelah mempertimbangkan kami akan pikir-pikir," kata dia.
Mendengar jawaban ini, Hapsoro lantas mengatakan bahwa putusan ini belum dapat dilaksanakan karena terdakwa dan Jaksa sama-sama masih pikir-pikir.
"Karena terdakwa dan Penuntut Umum pikir-pikir maka putusan ini belum dapat dilaksanakan," kata Hapsoro sebelum menutup sidang.
Di tempat yang sama, Jumhur mengaku tidak puas dengan putusan itu. Ia mengaku ingin bebas secara murni karena merasa tidak bersalah. Menurutnya, kritik terhadap rancangan Undang-Undang Cipta Kerja yang ia unggah di Twitter merupakan satu bentuk penyampaian pendapat.
"Kalau saya pasti tidak puas ya karena saya mau bebas murni karena saya tidak merasa bersalah, saya cuma menyatakan pendapat," kata Jumhur saat ditemui awak media pasca persidangan.
Namun, gara-gara kicauan itu ia divonis 10 bulan penjara. Sejak ditangkap pada 13 Oktober 2020, Jumhur telah menjalani hampir 7 bulan masa penahanan. Jika putusan hakim PN Jaksel telah berkekuatan hukum tetap, ia akan menjalani 3 bulan masa hukuman.
"Berarti saya masuk lagi 3 bulan. Kira-kira gitu, kalau masuk lagi ya bikin puisi lah," tutur Jumhur.
Ditemui di luar persidangan, kuasa hukum Jumhur, Oky Wiratama mengatakan bahwa meski majelis hakim menyatakan Jumhur bersalah karena telah menyebarkan informasi tak lengkap sebagaimana diatur Pasal 15 KUHP, dalam pertimbangannya hakim mengutip pendapat kuasa hukum.
Pendapat tersebut mengacu pada materi yang disampaikan saksi ahli, Josua Sitompul bahwa tindakan Jumhur tidak memenuhi pelanggaran UU ITE.
"Juga Jaksa tidak menghadirkan saksi mahkota yakni saksi Andika Fahrezy yang diduga sebagai pelaku keonaran," kata Oky.
Menurut Oky, dalam pertimbangannya majelis hakim PN Jaksel ragu-ragu. Karenanya, kata Oky, semestinya Jumhur divonis bebas.
"Oleh karena hakim ragu-ragu, maka seharusnya hakim memutus bebas," ujar Oky.
Sebelumnya, Majelis Hakim PN Jaksel memvinis Junhur dengan hukuman 10 bulan penjara. Namun, Jumhur tidak ditahan.
Menurut Hakim, Jumhur terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana karena menyiarkan kabar tidak lengkap mengenai UU Cipta Kerja. Padahal, ia mengerti atau patut menduga bahwa kabar itu bisa menimbulkan keonaran.
Hal ini sebagaimana diatur dalam sebagaimana adiatur dalam Pasal 15 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
(iam/arh)