Jakarta, CNN Indonesia --
Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sama-sama mengeluarkan kebijakan terkait pencegahan kekerasan seksual belakangan ini meski dengan sedikit perbedaan istilah soal consent atau persetujuan.
Nadiem sendiri telah mengeluarkan Permendikbudristek nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi. Aturan itu diundangkan pada 3 September 2021 itu terdiri dari 57 pasal.
Pihak Kemendikbudristek mengatakan bahwa aturan tersebut berfokus untuk melakukan pencegahan dan penindakan atas kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan pendidikan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Definisi kekerasan seksual dalam Pasal 1 aturan itu menyebut setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan tinggi dengan aman dan optimal.
Sementara itu, sasaran utama aturan ini antara lain mahasiswa, pendidik, tenaga kependidikan, warga kampus dan masyarakat umum yang berinteraksi dengan mahasiswa, pendidik, dan tenaga kependidikan.
Sorotan utama terhadap Permendikbud ini terletak pada Pasal 5. Dalam pasal tersebut dijelaskan cakupan tindakan kekerasan seksual yang mengecualikan persetujuan alias consent.
Rumusan norma kekerasan seksual yang diatur dalam aturan ini dianggap menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan oleh berbagai Ormas Islam. Sebab, dalam pasal tersebut dijelaskan kekerasan seksual mencakup hal-hal yang dilakukan 'tanpa persetujuan'.
Frasa 'tanpa persetujuan' ini menuai protes lantaran bisa ditafsirkan melegalkan zina jika kedua belah pihak saling menyetujui tindakan seksual. Hal itu tertuang dalam Pasal 5 ayat 2 poin b, f, g, h, j, k, l dan m.
Berikut bunyi Pasal 5 ayat 2 poin b, f, g, h, j, k, l dan m dalam Permendikbud 30 tersebut:
b. memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan Korban;
f. mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
g. mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
h. menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban;
j. membujuk, menjanjikan, menawarkan sesuatu, atau mengancam Korban untuk melakukan transaksi atau kegiatan seksual yang tidak disetujui oleh Korban;
k. memberi hukuman atau sanksi yang bernuansa seksual;
l. Menyentuh, mengusap, meraba, memegang,memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh Korban tanpa persetujuan Korban;
m. membuka pakaian Korban tanpa persetujuan Korban.
Bersambung ke halaman berikutnya...
Sementara itu, Anies Baswedan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7/SE/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Tindakan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.
Edaran yang diterbitkan 30 Agustus 2021 lalu ini ini spesifik mengatur soal pencegahan kekerasan seksual di lingkungan Pemprov DKI semata. Pasal 1 edaran itu dijelaskan mengenai bentuk-bentuk tindak pelecehan seksual yang mungkin terjadi di lingkungan kerja Pemprov DKI Jakarta.
Pada pasal ini tercantum juga soal diksi consent atau persetujuan seperti halnya di Permendikbud yang dikeluarkan Nadiem Makarim. Edaran Anies Pada poin 1 huruf a dan huruf b menggunakan diksi "Yang tidak diinginkan". Sementara Permendikbud 30 menggunakan diksi "Tanpa persetujuan korban".
Berikut bunyi sejumlah aturan di poin 1 dalam SE yang diterbitkan Anies tersebut:
a. Pelecehan fisik, termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.
b. Pelecehan lisan, termasuk ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual.
e. Pelecehan psikologis/emosional, termasuk permintaan atau ajakan yang disampaikan secara terus menerus dan/atau tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.
Dalam edaran tersebut, Anies turut menyerukan kepada para Kepala Perangkat Daerah/Unit Kerja pada Perangkat Daerah agar melakukan upaya pencegahan terhadap bentuk tindakan pelecehan seksual di lingkungan kerja dengan tiga ketentuan.
Pertama, membangun komitmen dalam upaya pencegahan tindakan pelecehan seksual. Kedua, mewajibkan seluruh pegawai untuk membangun dan memelihara suasana kerja yang aman dari tindakan pelecehan seksual. Terakhir, Anies meminta ada internalisasi dan sosialisasi tentang tindakan pelecehan seksual dan upaya pencegahan terjadinya pelecehan seksual di lingkungan kerja.
Lebih lanjut, edaran Anies itu juga mengatur mekanisme penanganan tindakan pelecehan seksual. Di antaranya yakni pelapor (baik korban atau saksi) dapat menyampaikan aduan pelecehan seksual secara tertulis melalui kanal aduan pada lamanhttps://bkddki.jakarta.go.id/pengaduan.
Lalu, Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk bersama dengan Unit Pelaksana Teknis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPT P2TP2A) akan memberikan asesmen awal terhadap aduan/laporan, perlindungan dan pendampingan terhadap Pelapor sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Permendikbudristek sudah menuai reaksi keras dari sejumlah ormas Islam seperti Muhammadiyah, MUI. Pada intinya, beberapa pasal dalam aturan itu diklaim bermakna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.
Sementara, aturan Anies baru menuai respons dari Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas yang meminta pemuatan aturan soal perbuatan yang dilarang agama dalam SE Nomor 7/SE/2021 tersebut.
Di luar reaksi ormas-ormas keagamaan itu, sejumlah LSM dan aktivis HAM hingga Kementerian Agama mendukung aturan pencegahan kekerasan seksual dari Nadiem itu sambil menyebut tak ada legalisasi zina dalam aturan tersebut.