Beda Aturan Kekerasan Seksual Nadiem-Anies: Utak-atik Istilah Consent

CNN Indonesia
Senin, 15 Nov 2021 17:28 WIB
Mendikbudristek Nadiem Makarim dan Gubernur DKI Anies Baswedan sama-sama mengeluarkan kebijakan pencegahan kekerasan seksual meski ada sedikit beda istilah.
Gubernur DKI Anies Baswedan menerbitkan aturan soal kekerasan seksual dengan penyesuaian terminologi consent yang sedikit berbeda. (ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A)

Sementara itu, Anies Baswedan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 7/SE/2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Tindakan Pelecehan Seksual di Lingkungan Kerja Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta.

Edaran yang diterbitkan 30 Agustus 2021 lalu ini ini spesifik mengatur soal pencegahan kekerasan seksual di lingkungan Pemprov DKI semata. Pasal 1 edaran itu dijelaskan mengenai bentuk-bentuk tindak pelecehan seksual yang mungkin terjadi di lingkungan kerja Pemprov DKI Jakarta.

Pada pasal ini tercantum juga soal diksi consent atau persetujuan seperti halnya di Permendikbud yang dikeluarkan Nadiem Makarim. Edaran Anies Pada poin 1 huruf a dan huruf b menggunakan diksi "Yang tidak diinginkan". Sementara Permendikbud 30 menggunakan diksi "Tanpa persetujuan korban".

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut bunyi sejumlah aturan di poin 1 dalam SE yang diterbitkan Anies tersebut:

a. Pelecehan fisik, termasuk sentuhan yang tidak diinginkan mengarah ke perbuatan seksual seperti mencium, menepuk, mencubit, melirik atau menatap penuh nafsu.
b. Pelecehan lisan, termasuk ucapan verbal/komentar yang tidak diinginkan tentang kehidupan pribadi atau bagian tubuh atau penampilan seseorang, lelucon dan komentar bernada seksual.
e. Pelecehan psikologis/emosional, termasuk permintaan atau ajakan yang disampaikan secara terus menerus dan/atau tidak diinginkan, ajakan kencan yang tidak diharapkan, penghinaan atau celaan yang bersifat seksual.

Dalam edaran tersebut, Anies turut menyerukan kepada para Kepala Perangkat Daerah/Unit Kerja pada Perangkat Daerah agar melakukan upaya pencegahan terhadap bentuk tindakan pelecehan seksual di lingkungan kerja dengan tiga ketentuan.

Pertama, membangun komitmen dalam upaya pencegahan tindakan pelecehan seksual. Kedua, mewajibkan seluruh pegawai untuk membangun dan memelihara suasana kerja yang aman dari tindakan pelecehan seksual. Terakhir, Anies meminta ada internalisasi dan sosialisasi tentang tindakan pelecehan seksual dan upaya pencegahan terjadinya pelecehan seksual di lingkungan kerja.

Lebih lanjut, edaran Anies itu juga mengatur mekanisme penanganan tindakan pelecehan seksual. Di antaranya yakni pelapor (baik korban atau saksi) dapat menyampaikan aduan pelecehan seksual secara tertulis melalui kanal aduan pada lamanhttps://bkddki.jakarta.go.id/pengaduan.

Lalu, Dinas Pemberdayaan, Perlindungan Anak dan Pengendalian Penduduk bersama dengan Unit Pelaksana Teknis Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (UPT P2TP2A) akan memberikan asesmen awal terhadap aduan/laporan, perlindungan dan pendampingan terhadap Pelapor sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.

Permendikbudristek sudah menuai reaksi keras dari sejumlah ormas Islam seperti Muhammadiyah, MUI. Pada intinya, beberapa pasal dalam aturan itu diklaim bermakna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan.

Sementara, aturan Anies baru menuai respons dari Wakil Ketua Umum MUI Anwar Abbas yang meminta pemuatan aturan soal perbuatan yang dilarang agama dalam SE Nomor 7/SE/2021 tersebut.

Di luar reaksi ormas-ormas keagamaan itu, sejumlah LSM dan aktivis HAM hingga Kementerian Agama mendukung aturan pencegahan kekerasan seksual dari Nadiem itu sambil menyebut tak ada legalisasi zina dalam aturan tersebut.

(rzr/dal)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER