Terpisah, Peneliti Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Hussein Ahmad menilai pendekatan militeristik di Papua yang dilakukan sebenarnya tak memiliki landasan hukum yang jelas. Ia menilai situasi mencekam di Papua sebenarnya terjadi karena perilaku militer yang berlebihan di sana.
Pengiriman ribuan pasukan nonorganik dari luar Papua, kata dia, harus disudahi karena tak sesuai dengan kondisi yang dihadapi di Papua sebenarnya.
"Kalau dia berhasil melakukan itu, evaluasi pengiriman pasukan ke Papua dan tarik pasukan nonorganik dari Papua. Itu akan jadi prestasi luar biasa yang tidak bisa dilakukan oleh Panglima TNI sebelum-sebelumnya," kata Hussein saat dihubungi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pasalnya, kata dia, pemerintah saat ini tak pernah menerapkan kembali status Darurat Operasi Militer (DOM) di Papua. Meskipun, ada kelompok separatis yang berjuang untuk memerdekakan diri dari Indonesia di sana.
Di satu sisi, katanya Jakarta tak pernah secara gamblang jumlah pasukan kelompok kriminal bersenjata (KKB) --sebutan pemerintah RI bagi Tentara Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka-- yang kini tengah dilawan aparat di Bumi Cenderawasih.
"Padahal berapa sih jumlahnya, enggak banyak. kalau disuruh dialog juga selesai," duga Hussein.
Sehingga, sambungnya, tak tepat apabila TNI mengirimkan ribuan pasukan dari luar wilayah untuk menjalankan operasi dan kegiatannya di Papua. Menurutnya, hal itu juga tak sesuai dengan Undang-undang nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ia merujuk pada Pasal 7 ayat (3) beleid yang menjelaskan bahwa serangkaian kegiatan militer dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Dalam hal ini, perintah Presiden berdasarkan hasil perundingan dengan DPR RI.
Adapun, pengiriman pasukan dimaksud ialah bentuk dari operasi militer selain perang yang salah satunya untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata, ataupun pemberontakan bersenjata. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 34/2004.
![]() |
Atas dasar itu, Hussein lantas mempertanyakan dasar hukum pengiriman pasukan untuk menjalankan operasi di Papua. Padahal, kata dia, tak pernah ada dokumen resmi dari pemerintah yang memberikan perintah mobilisasi tersebut.
"Papua tidak lagi ditetapkan sebagai daerah operasi militer Sejak awal reformasi, itu sudah dicabut," ucap dia.
"Kalau di negara maju, itu jelas Panglima tertinggi dalam hal ini Presiden mengirimkan perintah mobilisasi pasukan. Lah kok bisa di Indonesia, ada mobilisasi pasukan, rutin lagi, itu bukan atas perintah Presiden," tambahnya.
Oleh sebab itu, Hussein berharap Andika dapat melihat hal tersebut sebagai sebuah masalah yang perlu dievaluasi. Sikap Andika, kata dia, perlu konsisten sebagaimana dijanjikan saat ini usai dilantik oleh Presiden dan akan bertugas setidaknya 13 bulan ke depan.
Ia melihat, persoalan rakyat Papua pada generasi saat ini terbagi atas dua hal besar. Pertama, ialah masalah pelanggaran ham berat masa lalu yang masih menghantui hingga saat ini.
Kemudian, rakyat Papua yang kini menjadi penonton dalam pembangunan masif di wilayahnya. Imparsial, dalam kajian berjudul 'Marginalisasi dan Disintegrasi Bangsa' melihat bahwa orang asli Papua banyak tak dilibatkan dalam semangat pembangunan yang dicanangkan pemerintah Pusat.
Sehingga, konsep dialogis untuk menyelesaikan masalah di Papua tak kunjung rampung dilakukan.
"Selesaikan Papua itu dengan cara dialog, ajak duduk berunding orang-orang Papua. Tanya maunya apa, selama ini kan enggak. Mau bikin jalan, yang putuskan Jakarta bukan sana (Papua)," kata Hussein.
"Orang Papua belum tentu butuh, sudah diputuskan di sini. Duitnya dari Jakarta, kontraktornya orang Jakarta. Orang Papua dapat apa? Enggak ada," tambahnya.
Oleh karena itu, Imparsial meminta agar semangat pembenahan Papua yang dilakukan TNI di bawah kepemimpinan Andika tak hanya menjadi jargon semata untuk pencitraan.
Menurutnya, Andika juga memiliki peran penting untuk membuktikan bahwa dirinya tak pernah bermasalah dengan Papua selama berkarir di TNI. Dalam hal ini, terkait dengan catatan buruk soal dugaan kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay yang menyeret menantu mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono tersebut.
"Sebetulnya kan dia punya beban pembuktian terhadap orang Papua," ujar Hussein.