Jakarta, CNN Indonesia --
Tongkat komando Panglima TNI telah resmi berpindah dari Marsekal Hadi Tjahjanto ke Jenderal Andika Perkasa.
Andika dilantik Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) pada Rabu (17/11). Andika lalu serah terima jabatan dengan Marsekal Hadi pada Kamis (18/11) di Mabes TNI, Cilangkap, Jakarta Timur.
Di Istana Kepresidenan, pascadilantik oleh Jokowi, Andika membeberkan sejumlah janji dan rencana evaluasi kerja ke depannya nanti saat menjabat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dalam pidato yang disampaikannya, Andika mengatakan akan membenahi internal militer Indonesia selama menjabat setahun ke depan. Selain itu, ia juga berjanji akan mengevaluasi Polda pendekatan pengamanan di Papua. Andika ingin menunjukkan bahwa perlakuan keamanan di Papua dapat dilakukan sebagaimana militer bekerja di wilayah provinsi lain di Indonesia.
Niat baik Andika dinilai dapat menjadi jawaban bagi persoalan pengamanan di Papua yang kerap kali menjadi polemik dan bahkan menjadi hambatan bagi pendekatan dialogis untuk menyelesaikan masalah Papua.
Peneliti militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi mengatakan Andika memiliki tugas penting untuk dapat membuat terobosan yang berbeda dari pendahulunya dalam bersikap terhadap Papua.
Khairul menekankan agar militer di Papua memiliki kepekaan dan kepatuhan hukum sehingga tak ada pelanggaran-pelanggaran yang nantinya akan menjadi kontraproduktif dengan kebijakan pimpinan TNI.
"Terutama para personel yang bertugas di Papua itu ada peningkatan integritas, atau peningkatan kesadaran, atau peningkatan kepatuhan hukum," kata Khairul saat dihubungi CNNIndonesia.com, Kamis (18/11).
Pasalnya, kata dia, militer pun kerap menjadi pelaku kejahatan terhadap sipil di Papua. Ia mencontohkan kekerasan aparat yang berlarut penindakannya, dan kasus jual beli senjata yang melibatkan prajurit.
Selain itu, Khairul juga mengingatkan bahwa pendekatan militeristik di Papua harus dapat mulai dikurangi perlahan. Menurutnya visi Andika dalam melihat Papua harus selaras dengan kebijakan pemerintah dalam menyikapi wilayah paling Timur di Indonesia tersebut.
Sehingga aparat, kata dia, dapat mengambil porsi penugasan lain dalam menunjang kinerja pemerintah untuk membangun Papua. Misalnya dengan memperkuat bidang intelijen dan pengumpulan informasi di Papua sehingga dapat apa yang diharapkan masyarakat lokal dapat selaras dengan kebijakan pemerintah.
"TNI mendukung, juga sebelumnya mungkin lebih dikedepankan, mungkin sekarang sifatnya ada hal-hal yang TNI tidak lagi di depan tapi menjadi pendukung," ucap Fahmi.
"Terutama terkait dengan misalnya dialog, hal-hal yang memang menjadi ranah atau domain kementerian atau lembaga lain, tentu saja yang didepan adalah kementerian atau lembaga lain ini," tambahnya.
Menurut Khairul perlu penyebarluasan propaganda positif yang kuat berdasarkan realitas yang ada di Papua. Sehingga, nantinya masalah-masalah pendekatan militeristik dan keamanan yang berlebih tak menjadi persoalan lagi di sana.
Semangat Andika untuk mengevaluasi kinerja militer di Papua selaras dengan permintaan yang disampaikan oleh Jenderal Dudung Abdurachman yang menggantikannya di jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).
Ia meminta agar prajurit Angkatan Darat bersikap profesional dan tidak melakukan perbuatan yang menyakiti masyarakat Papua. Saat perpindahan pucuk pimpinan di militer, memang isu Papua menjadi salah satu yang disorot oleh mereka.
Bahkan, Papua juga jadi fokus kerja Jenderal Andika Perkasa saat uji kelayakan dan kepatutan di DPR RI.
Semangat Andika itu, kata dia, harus dimaksimalkan dalam 13 bulan ia menjabat sebagai Panglima. Jeneral bintang empat itu setidaknya harus menyediakan tahapan awal untuk menyelesaikan permasalahan keamanan di Papua dengan segala evaluasi yang ada.
"Sehingga, kita akan bisa menyaksikan wilayah papua yang berangsur-angsur situasi keamanannya membaik. Pola pengamanan, pola pendekatan yang dilakukan oleh TNI di wilayah Papua akan berangsur-angsur setara dengan apa yang diterapkan di daerah-daerah lain di Indonesia," katanya.
Ada harapan di Papua pada halaman selanjutnya.
Terpisah, Peneliti Indonesian Human Rights Monitor (Imparsial), Hussein Ahmad menilai pendekatan militeristik di Papua yang dilakukan sebenarnya tak memiliki landasan hukum yang jelas. Ia menilai situasi mencekam di Papua sebenarnya terjadi karena perilaku militer yang berlebihan di sana.
Pengiriman ribuan pasukan nonorganik dari luar Papua, kata dia, harus disudahi karena tak sesuai dengan kondisi yang dihadapi di Papua sebenarnya.
"Kalau dia berhasil melakukan itu, evaluasi pengiriman pasukan ke Papua dan tarik pasukan nonorganik dari Papua. Itu akan jadi prestasi luar biasa yang tidak bisa dilakukan oleh Panglima TNI sebelum-sebelumnya," kata Hussein saat dihubungi.
Pasalnya, kata dia, pemerintah saat ini tak pernah menerapkan kembali status Darurat Operasi Militer (DOM) di Papua. Meskipun, ada kelompok separatis yang berjuang untuk memerdekakan diri dari Indonesia di sana.
Di satu sisi, katanya Jakarta tak pernah secara gamblang jumlah pasukan kelompok kriminal bersenjata (KKB) --sebutan pemerintah RI bagi Tentara Pembebasan Papua Barat-Organisasi Papua Merdeka-- yang kini tengah dilawan aparat di Bumi Cenderawasih.
"Padahal berapa sih jumlahnya, enggak banyak. kalau disuruh dialog juga selesai," duga Hussein.
Sehingga, sambungnya, tak tepat apabila TNI mengirimkan ribuan pasukan dari luar wilayah untuk menjalankan operasi dan kegiatannya di Papua. Menurutnya, hal itu juga tak sesuai dengan Undang-undang nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI. Ia merujuk pada Pasal 7 ayat (3) beleid yang menjelaskan bahwa serangkaian kegiatan militer dilakukan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Dalam hal ini, perintah Presiden berdasarkan hasil perundingan dengan DPR RI.
Adapun, pengiriman pasukan dimaksud ialah bentuk dari operasi militer selain perang yang salah satunya untuk mengatasi gerakan separatis bersenjata, ataupun pemberontakan bersenjata. Sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) UU 34/2004.
 Sejumlah Kendaraan Tempur (Ranpur) jenis Tank M113 mengikuti gladi bersih puncak Latihan Antar Kecabangan TNI AD Kartika Yudha Tahun 2020 di Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) TNI AD, Baturaja Timur, Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, Selasa (24/11/2020). ( ANTARA FOTO/Nova Wahyudi) |
Atas dasar itu, Hussein lantas mempertanyakan dasar hukum pengiriman pasukan untuk menjalankan operasi di Papua. Padahal, kata dia, tak pernah ada dokumen resmi dari pemerintah yang memberikan perintah mobilisasi tersebut.
"Papua tidak lagi ditetapkan sebagai daerah operasi militer Sejak awal reformasi, itu sudah dicabut," ucap dia.
"Kalau di negara maju, itu jelas Panglima tertinggi dalam hal ini Presiden mengirimkan perintah mobilisasi pasukan. Lah kok bisa di Indonesia, ada mobilisasi pasukan, rutin lagi, itu bukan atas perintah Presiden," tambahnya.
Oleh sebab itu, Hussein berharap Andika dapat melihat hal tersebut sebagai sebuah masalah yang perlu dievaluasi. Sikap Andika, kata dia, perlu konsisten sebagaimana dijanjikan saat ini usai dilantik oleh Presiden dan akan bertugas setidaknya 13 bulan ke depan.
Ia melihat, persoalan rakyat Papua pada generasi saat ini terbagi atas dua hal besar. Pertama, ialah masalah pelanggaran ham berat masa lalu yang masih menghantui hingga saat ini.
Kemudian, rakyat Papua yang kini menjadi penonton dalam pembangunan masif di wilayahnya. Imparsial, dalam kajian berjudul 'Marginalisasi dan Disintegrasi Bangsa' melihat bahwa orang asli Papua banyak tak dilibatkan dalam semangat pembangunan yang dicanangkan pemerintah Pusat.
Sehingga, konsep dialogis untuk menyelesaikan masalah di Papua tak kunjung rampung dilakukan.
"Selesaikan Papua itu dengan cara dialog, ajak duduk berunding orang-orang Papua. Tanya maunya apa, selama ini kan enggak. Mau bikin jalan, yang putuskan Jakarta bukan sana (Papua)," kata Hussein.
"Orang Papua belum tentu butuh, sudah diputuskan di sini. Duitnya dari Jakarta, kontraktornya orang Jakarta. Orang Papua dapat apa? Enggak ada," tambahnya.
Oleh karena itu, Imparsial meminta agar semangat pembenahan Papua yang dilakukan TNI di bawah kepemimpinan Andika tak hanya menjadi jargon semata untuk pencitraan.
Menurutnya, Andika juga memiliki peran penting untuk membuktikan bahwa dirinya tak pernah bermasalah dengan Papua selama berkarir di TNI. Dalam hal ini, terkait dengan catatan buruk soal dugaan kasus pembunuhan Theys Hiyo Eluay yang menyeret menantu mantan Kepala BIN, AM Hendropriyono tersebut.
"Sebetulnya kan dia punya beban pembuktian terhadap orang Papua," ujar Hussein.