Pro Kontra Permendikbud PPKS di Tengah Pandemi

CNN Indonesia
Jumat, 26 Nov 2021 07:08 WIB
Permendikbud PPKS menuai pro-kontra sejak diterbitkan Nadiem Makarim. Aturan terbit setelah kasus-kasus kekerasan seksual tak ditindaklanjuti.
Aksi dukungan terhadap RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) di Kompleks DPR, Jakarta, Selasa (7/7/2020). (CNN Indonesia/Andry Novelino

Menurut Nadiem Makarim, berdasarkan riset yang dilakukan pihaknya pada 2020, sebanyak 77 persen dosen mengakui kekerasan seksual pernah terjadi di kampus.

Sebanyak 63 persen di antaranya tidak melaporkan kekerasan seksual yang mereka ketahui karena khawatir stigma negatif akan dilekatkan kepada korban.

"Kami melakukan survei sendiri di tahun 2020, hasilnya 77 persen dari dosen yang disurvei menyatakan kekerasan seksual itu pernah terjadi di kampus. Ini dosen ya, bukan mahasiswa," ungkap Nadiem.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mantan Bos Gojek itu mengaku sangat terkejut saat mendengar tudingan bahwa ia melegalkan seks bebas di lingkungan kampus. Nadiem memastikan bahwa Permendikbud PPKS bertujuan untuk mendapatkan hak mereka sebagai warga negara atas pendidikan.

Ia tidak bisa menerima tudingan melegalkan perzinaan tersebut meskipun menyatakan selalu mengkaji kritik yang diterima.

"Kami di Kemendikbudristek sama sekali tidak mendukung seks bebas, perzinaan. Itu luar biasa sekali saya terkejutnya waktu saya dituduh," kata Nadiem.

"Saya harus bilang ada kritik yang akan selalu kami kaji dan berdialog, tapi saya juga tidak bisa menerima fitnah yang menyebut saya ini menghalalkan zina atau seks bebas," lanjutnya.

Dukungan untuk Permendikbud PPKS

Meski tidak sedikit ormas Islam dan anggota DPR memprotes keras Permendikbud PPKS, dukungan untuk Nadiem mengalir baik dari kalangan pemerintah, parlemen, maupun mahasiswa dan organisasi masyarakat sipil.

Kementerian Agama dan Fraksi PDI Perjuangan, misalnya, mendukung Permendikbud PPKS. Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas menerbitkan edaran khusus untuk kampus agama agar mendukung Permen tersebut.

Kemudian, berbeda dengan PKS dan Gerindra, PDIP justru tidak memandang aturan ini melegalkan seks bebas.

"PermendikbudRistek ini tidak bisa diartikan sebagai bentuk pelegalan terhadap terjadinya hubungan seksual suka sama suka di luar pernikahan, juga tak bisa disebut melegalkan LGBT," kata Anggota Komisi X DPR RI Fraksi PDIP MY Esti Wijayati.

Pengurus BEM Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Makassar (UNM) Andi Rahmi Utami menyatakan pihaknya mendukung terobosan Nadiem.

"BEM mendukung adanya permendikbud ini," kata Rahmi.

Sementara itu Presiden BEM Universitas Hasanuddin (Unhas) Taufik Kurniawan menilai Permendikbud PPKS merupakan terobosan yang dikeluarkan Nadiem.

Dalam Permen itu, mahasiswa juga dilibatkan sebagai unsur utama dalam pembentukan Pansel dan satuan tugas (Satgas).

"Misalkan dalam pembentukan Pansel dan satuan tugasnya, ada mahasiswa di sana, ini merupakan kemajuan dari kebijakan yang akan dilaksanakan," kata Taufik.

Institut Teknologi Bandung (ITB) juga menyambut Permendikbud PPKS. Rektor ITB Reini Wirahadikusumah bahkan menyatakan kampusnya sudah lama menunggu aturan pencegahan kekerasan seksual dari pemerintah pusat.

Reini juga menyatakan bakal membuat aturan turunan dari Permen tersebut.

"Tentu ITB sangat mengapresiasi inisiatif Kementerian tersebut. Kita sudah tunggu-tunggu sejak lalu. Jadi, dengan terbitnya permendikbud tersebut, sekarang ITB bisa segera tandatangani peraturan rektor tentang kekerasan seksual," ujar Reini.

Pakar Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengungkapkan kata 'persetujuan' dalam Permendikbud PPKS maupun RUU TPKS begitu penting.

Bivitri menjelaskan, keberadaan kata 'persetujuan' dalam aturan pencegahan kekerasan seksual itu berfungsi untuk membedakan apakah peristiwa yang terjadi merupakan kekerasan atau bukan.

"Kata persetujuan ini, bagi kami yang mencoba mendorong RUU ini sejak lama sebenarnya jadi kata kunci yang penting karena itulah penanda ada kekerasan seksual," kata Bavitri.

Keberadaan kata 'persetujuan' atau consent dalam dua aturan itu tidak lantas diartikan bahwa Permendikbud PPKS maupun RUU TPKS membolehkan seks bebas atau perzinaan.

Larangan seks bebas dan zina, kata Bivitri, sudah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

"Yang di luar itu hal-hal lainnya bukannya tidak dilarang tapi sudah ada ketentuannya, antara lain di KUHP, pasal perzinaan, sudah ada, yakinlah dan di luar itu juga sudah ada norma-norma lain," jelas Bivitri.

(iam/pmg)


[Gambas:Video CNN]

HALAMAN:
1 2
LAINNYA DI DETIKNETWORK
LIVE REPORT
TERPOPULER