Kemudian ia menilai pembentuk undang-undang telah berupaya melakukan terobosan hukum di tengah persoalan akut di bidang legislasi seperti membengkaknya jumlah regulasi yang kurang mendukung kemudahan berusaha dan ketiadaan lembaga tunggal yang mengelola data peraturan perundang-undangan yang resmi.
Bahkan, katanya, pemerintah telah menetapkan lebih dari 50 aturan pelaksana UU Cipta Kerja dan membentuk Satuan Tugas
Percepatan Sosialisasi UU Cipta Kerja.
"Seandainya Mahkamah mempertimbangkan hal ini secara proporsional, maka kepentingan publik yang dijamin dan dilindungi oleh keberadaan UU a quo lebi besar daripada anggapan pelanggaran prosedur pembentukan undang-undang sebagaimana didalilkan oleh para pemohon," kata Manahan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Manahan berpendapat perlu dilakukan perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP) untuk memasukkan metode omnibus dalam penyusunan undang-undang. Hal ini juga untuk mengakomodasi penyusunan undang-undang lainnya yang akan menggunakan metode omnibus di masa mendatang.
"Berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum di atas, seharusnya Mahkamah menyatakan Undang-Undang a quo adalah konstitusional karena UU PPP sama sekali tidak mengatur metode omnibus, walaupun dalam praktik pembentukan undang-undang sudah digunakan," ujarnya.
Sebelumnya MK menolak sebagian gugatan Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Mahkamah menilai tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang, terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi usai persetujuan bersama DPR dan Presiden dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
Selain itu, mahkamah menyebut proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan cacat formil. Untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, mahkamah menilai UU Cipta Kerja harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat.
"Menimbang bahwa berdasarkan uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, menurut Mahkamah UU 11/2020 harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat sebagaimana dinyatakan dalam amar putusan ini," ujar hakim konstitusi.
Mahkamah pun menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Mejelis juga memerintahkan kepada pembentuk UU untuk melakukan perbaikan dalam jangka waktu paling lama dua tahun sejak putusan ini diucapkan. Apabila dalam tenggang waktu tersebut tidak dilakukan perbaikan, kata Anwar, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
"Dalam pokok permohonan, satu, menyatakan permohonan Pemohon I dan Pemohon II tidak dapat diterima. Dua, mengabulkan permohonan pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan pemohon VI untuk sebagian," kata Ketua Majelis Hakim Anwar Usman.
Adapun Pemohon I merupakan seorang mantan pekerja Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT). Kemudian pemohon II adalah pelajar di STIKP Modern yang merasa dirugikan akan berlakunya UU Cipta Kerja.
Lalu Pemohon III seorang dosen pengampu mata kuliah Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara. Pemohon IV adalah Migrant CARE.
Kemudian pemohon V adalah Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagarai Sumatera Barat. Terakhir Pemohon VI merupakan Badan Hukum berbentuk perkumpulan dengan nama Mahkamah Adat Alam Minangkabau (MAAM).
(khr/fra)