Terpisah, Pakar Hukum Tata Negara dari STIH Jentera Bivitri Susanti menilai putusan MK kali ini seakan ragu-ragu. Opini itu kemudian ditambah dengan munculnya dissenting opinion atau perbedaan pendapat dari empat hakim. Mereka yakni Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan M.P. Sitompul, dan Daniel Yusmic P. Foekh.
Melihat kondisi itu, Bivitri menganggap bahwa putusan yang kemudian membingungkan publik ini tak ubahnya merupakan jalan tengah yang diambil untuk 'menenangkan' pemohon dan termohon daripada UU Cipta Kerja ini.
"Dan jalan tengah ini sesungguhnya menimbulkan kebingungan karena putusan ini mengatakan bahwa sebuah proses legislasi inkonstitusional, artinya sebenarnya sebuah produk yang dihasilkan dari proses yang inkonstitusional ini juga inkonstitusional, sehingga tidak berlaku," kata Bivitri kepada CNNIndonesia.com, Jumat (26/11).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Senada dengan Feri Amsari, Bivitri juga menyoroti frasa inkonstitusional yang merujuk pada definisi tidak berlakunya lagi sebuah UU. Meskipun bersyarat, seharusnya UU itu tetap ditangguhkan, sampai kemudian perbaikan kembali diundangkan dan nantinya ditetapkan.
Untuk itu, Bivitri menilai putusan kali ini bukan 100 persen mengabulkan para penggugat yang notabenenya rakyat dari sejumlah elemen. Namun setidaknya, MK juga sudah tepat untuk menangguhkan pemerintah dan DPR untuk menciptakan peraturan pelaksana dari UU Cipta Kerja.
Perlu diketahui, terdapat 49 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja ke dalam Lembaran Negara RI. Aturan itu terdiri dari 45 Peraturan Pemerintah (PP) dan 4 Peraturan Presiden (Perpres). Aturan turunan itu telah diundangkan pada Februari 2021.
"Yang masih bisa sedikit melegakan adalah karena tidak boleh lagi ada peraturan pelaksana, yaitu PP dan Perpres yang diperintahkan secara eksplisit untuk dibuat dalam dua tahun ini. Tetapi ini pun berarti, peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik, tetap berlaku," kata dia.
![]() |
Bivitri kemudian mengapresiasi upaya MK untuk mengabulkan sebagian uji formil kali ini yang merupakan perdana dalam sejarah. Kendati tetap saja ia menilai jalan tengah ini diambil layaknya kompromi.
Selain itu, Bivitri juga menyadari bahwa memang tidak ada jalan lain bagi uji formil UU Cipta Kerja untuk kemudian tidak disetujui. Sehingga putusan ini memang seharusnya normal sesuai prosedur hukum.
Ia juga berpendapat, tidak mungkin MK bisa menolak lagi permohonan uji formil ini, lantaran memang segala cacat formil yang didalilkan para pemohon cukup sederhana untuk dibuktikan di persidangan, bahkan cukup kasat mata bagi publik, seperti tidak adanya naskah akhir sebelum persetujuan.
"Namun di sisi lainnya, bila melihat rekam jejak MK, kita juga bisa melihat bagaimana MK selalu melakukan pertimbangan politik, tidak hanya hukum. Karena itulah, jalan keluarnya adalah 'conditionally unconstitutional' atau putusan inkonstitusional bersyarat selama dua tahun itu," jelasnya.
Lebih lanjut, Bivitri juga meminta publik terutama pemohon untuk tidak berpuas diri lantaran masih ada serangkaian uji materiil yang harus terus dipantau, terkait apakah nantinya MK juga bakal menyatakan putusan inkonstitusional lagi.
Ia juga meminta dalam dua tahun tenggat waktu ini, pemerintah benar-benar mengajak partisipasi rakyat untuk kemudian melakukan revisi atas prosedur pembentukan UU, atau bahkan muatan-muatan yang terkandung dalam pasal UU Cipta Kerja.
Selain itu, Bivitri juga mengajak publik untuk benar-benar memantau dan jangan sampai kecolongan, semisal pemerintah dan DPR kemudian membuat peraturan pelaksana baru terkait UU Cipta Kerja, sebab sebagaimana ketentuannya upaya itu sudah ditangguhkan oleh MK.
"DPR dan Pemerintah wajib mempelajari baik-baik pertimbangan MK untuk memperbaiki proses legislasi dalam memperbaiki UU Cipta kerja seperti yang diperintahkan oleh MK, sehingga semua asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik harus dipenuhi secara substantif," ujar Bivitir.
"Dua tahun bukan waktu yang sedikit untuk memulai kembali proses legislasi ini," imbuhnya.
(khr/pmg)