Bahaya Laten Kekerasan Seksual Lingkungan Pendidikan: Dosen-Pacar
CNN Indonesia
Selasa, 30 Nov 2021 08:58 WIB
Bagikan:
url telah tercopy
Ilustrasi. Sepanjang 2015-2020, Komnas Perempuan menerima 51 laporan kasus kekerasan seksual dan diskriminasi. (Istockphoto/Favor_of_God)
Jakarta, CNN Indonesia --
Kekerasan seksual terhadap perempuan menempati urutan kedua terbanyak setelah kekerasan fisik yang terjadi sepanjang 2020.
Demikian Catatan Tahunan (Catahu) Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan(Komnas Perempuan) 2021 yang dirilis Maret lalu.
Dari 6.480 kasus kekerasan yang terjadi dalam hubungan personal, sebanyak 1.938 atau 30 persen di antaranya merupakan kekerasan seksual. Angka tersebut berselisih sedikit dengan kekerasan jenis fisik dengan angka 2/025 atau 31 persen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sementara, kekerasan jenis psikis sebanyak 1.792 kasus atau 28 persen, dan kekerasan ekonomi 680 kasus atau 10 persen.
"Pola ini sama seperti pola tahun sebelumnya. Kekerasan seksual secara konsisten masih menjadi terbanyak kedua yang dilaporkan dan memperlihatkan bahwa rumah dan relasi pribadi belum menjadi tempat yang aman bagi perempuan," tulis Komnas Perempuan dalam laporan tersebut.
Komnas Perempuan juga menilai lingkungan pendidikan bukan sebuah tempat yang aman bagi anak didik dari kekerasan seksual. Hal ini mereka beberkan dalam Lembar Fakta Kekerasan Seksual di Lingkungan Pendidikan.
Sepanjang 2015-2020, Komnas Perempuan menerima 51 laporan kasus kekerasan seksual dan diskriminasi.
Dari berbagai jenjang pendidikan, kekerasan seksual paling banyak terjadi di perguruan tinggi dengan jumlah 14 kasus, pesantren atau pendidikan berbasis agama 10 kasus, 8 kasus di SMA/SMK, 5 kasus tidak teridentifikasi, dan lainnya.
"Universitas menempati urutan pertama," tulis Komnas Perempuan dalam lembar fakta itu.
Di lingkungan pendidikan, bentuk kekerasan seksual yang dilakukan antara lain perkosaan, pencabulan dan pelecehan seksual, kekerasan psikis dan diskriminasi dalam bentuk dikeluarkan dari sekolah.
Data kekerasan seksual di perguruan tinggi yang dihimpun bagian Pemantauan Komnas Perempuan lebih banyak. Sepanjang 2015-2021, Komnas mencatat terdapat 26 kasus kekerasan seksual di kampus. Pelaku didominasi dosen, dan korban paling banyak adalah mahasiswi.
Dari 26 kasus itu, 17 di antaranya dilakukan dosen. Sementara, pelaku lain adalah 6 mahasiswa, 2 pelatih atletik, dan 1 ketua yayasan universitas.
Korban paling paling banyak merupakan mahasiswa 21 orang, 1 dosen, 2 murid, 1 pegawai, dan 1 korban yang latar belakangnya tidak teridentifikasi. Sebanyak 7 kasus kekerasan seksual terhadap mahasiswa dilakukan oleh dosen pembimbing skripsi.
Modus kekerasan itu bermacam-macam antara lain, pelecehan verbal, menyentuh anggota tubuh, meminta gambar atau video tak senonoh, hingga perkosaan.
Dalam catatan tahunannya, Komnas Perempuan mengategorikan kekerasan terhadap perempuan menjadi beberapa bagian ranah: personal, komunitas, dan negara.
Kasus kekerasan seksual di ranah personal didominasi pencabulan 412 kasus, kekerasan berbasis gender siber (KGBS) 329 kasus, kekerasan seksual lain sebanyak 321 kasus, dan perkosaan 309 kasus.
Menurut Komnas Perempuan, jika dibandingkan tahun lalu KGBS meningkat drastis dari 35 kasus menjadi 329 kasus.
"Ini berarti terjadi kenaikan 920 persen KBGS di ranah KDRT/RP dibandingkan tahun sebelumnya," jelas Komnas Perempuan.Catahu Komnas Perempuan tersebut juga membeberkan pelaku kekerasan seksual di ranah personal didominasi pacar 1.074 orang, mantan pacar 263 orang, ayah 165 orang, kerabat 135 orang, ayah tiri/angkat 92 orang, dan suami 83 orang.
"Dibandingkan tahun lalu, kekerasan berbasis gender siber (KGBS) di ranah KDRT/RP bertambah dari 35 kasus menjadi 329 kasus. Ini berarti terjadi kenaikan 920% KBGS di ranah KDRT/RP dibandingkan tahun sebelumnya," tutur Komnas Perempuan dalam laporannya.
Para peserta aksi antikekerasan seksual melakukan aksi di depan gedung DPR RI, Kamis (25/11/2021). (CNN Indonesia/Andry Novelino)
Di ranah komunitas, jumlah kekerasan seksual mencapai 1.731 kasus. Pelaku kekerasan paling banyak adalah teman 330 kasus, tetangga 209 kasus, orang tak dikenal 138 kasus, dan tidak teridentifikasi 120 kasus.
Catahu Komnas Perempuan 2021 yang merangkum kejadian sepanjang 2020 mencatat laporan kekerasan seksual ranah komunitas oleh atasan kerja meningkat menjadi 91 kasus dibanding tahun sebelumnya
"Kenaikan di dunia kerja ini menunjukkan meningkatnya keberanian korban untuk melaporkan atasan kerjanya sebagai pelaku kekerasan seksual," demikian tertulis dalam Catahu itu.
Di ranah negara, jumlah laporan kekerasan seksual terjadi tiga kali yang dilakukan oleh anggota TNI berupa perkosaan, perbudakan seksual, pelacuran paksa, dan pemaksaan kehamilan; oleh Satpol PP dan pelanggaran HAM berupa pelecehan seksual dan penyiksaan; dan kepala desa berupa perkosaan.
Aktivis perempuan sekaligus Pakar Hukum tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Indonesia Jentera, Bivitri Susanti mengatakan maraknya kasus kekerasan seksual yang belakangan terungkap ke publik disebabkan dua hal.
Pertama, karena terdapat stimulus Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Kedua, saat ini mahasiswa lebih berdaya karena telah memahami kekerasan seksual.
"Di wilayah-wilayah lain seperti sekolahan juga amat sangat banyak tapi tidak dilaporkan karena sangat mungkin tidak punya kapasitas untuk melapor, mungkin belum sadar kalau itu kekerasan seksual," tutur Bivitri dalam konferensi pers yang digelar Aliansi Jaringan Pembela Perempuan Korban Kekerasan Seksual, Rabu (24/11).
Bivitri menjelaskan penyebab kekerasan seksual dilakukan kalangan terdidik adalah karena persoalan adanya relasi kuasa antara pelaku atas korban.
Menurutnya, kekerasan seksual yang terjadi di kampus tidak terbatas dipengaruhi oleh jabatan dosen melainkan relasi kuasa yang bisa dimiliki oleh siapa saja.
"Menurut saya bukan soal jabatan dosen tapi siapapun yang punya kuasa dan bisa menggunakan relasi kuasa," tuturnya.
Terpisah, Sekretaris Lakpesdam Nahdlatul Ulama (NU), Marzuki Wahid menyebut kejahatan kekerasan seksual lebih berat dari tindak pidana korupsi. Pasalnya, menurut dia, dampak kekerasan seksual tak bisa dipulihkan.
Marzuki berpendapat, trauma, kehormatan, kesucian, kemuliaan, martabat, adalah dampak dari kekerasan seksual yang diterima korban dan tidak bisa dipulihkan.
"Ini kekerasan seksual lebih berat daripada korupsi. Korupsi sudah berat, tapi kekerasan seksual lebih berat lagi," kata dia dalam diskusi di kompleks parlemen, Jumat (26/11).
Marzuki berharap agar UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) bisa segera disahkan. Bukan saja sebagai produk hukum, sebagai orang yang beragama, dia menilai kasus kekerasan seksual di Indonesia merupakan masalah yang kritis.
Marzuki turut menegaskan pihaknya tak menemukan satu pasal pun dalam Rancangan Undang-undang TPKS yang melegalkan zina maupun LGBT. Oleh sebab itu, menurut dia masyarakat tak perlu khawatir atas pengesahan RUU tersebut jika disahkan.
RUU TPKS, terang Marzuki, justru disusun untuk melindungi korban kekerasan seksual. Terlebih, kekerasan seksual juga secara tegas telah diatur dalam agama sebagai tindakan yang tidak dibenarkan.
"Dalam perspektif agama sebenarnya sudah firmed soal kekerasan seksual, itu haram dan kemudian hukumnya wajib untuk dicegah," kata dia.
Oleh karena itu, Marzuki mengatakan pihaknya mengaku curiga penolakan terhadap RUU TPKS lebih bernuansa politis. Para penolak RUU antikekerasan seksual , kata dia. hanya kerap menggunakan dalil agama untuk menutupi kepentingan politik.
"Saya kira penting juga publik untuk memetakan, mana-mana, partai-partai yang menghambat, ya karena menurut saya ini soal hajat kemaslahatan publik dan saya kira saya terus terang setuju," katanya.
Setelah disetujui masuk program legislasi nasional (Prolegnas) prioritas 2021, RUU TPKS kini masih dalam pembahasan di Badan Legislasi DPR. Sedikitnya lima fraksi masih menolak RUU itu untuk dibawa ke Rapat Paripurna untuk menjadi RUU inisiatif DPR.
Ketua Panitia Kerja (Panja) RUU TPKS, Willy Adhitya menyebut bahwa hingga kini baru empat fraksi yang setuju RUU TPKS dibawa ke rapat paripurna untuk menjadi hak inisiatif DPR. Empat fraksi masing-masing yakni, Nasdem, PKB, PDIP, dan Gerindra.
Sedangkan lima fraksi lainnya yakni PAN, PKS, PPP, Golkar, dan Demokrat disebut masih menolak.
Menurut Willy, nasib RUU TPKS akan ditentukan lewat voting. Jika mayoritas fraksi menolak, RUU yang diusung sejak 2012 tersebut terancam kandas.
"Kalau menang lanjut ke paripurna sebagai inisiatif DPR, kalau kalah ya gugur lah. Itu fungsi pleno," kata dia di kompleks parlemen, Jumat (26/11).
Willy tak secara jelas mengungkap alasan lima fraksi masih alot soal RUU tersebut. Pasalnya, enam poin krusial dalam RUU TPKS itu, kata dia, telah disepakati.
Permendikbud 30/2021 Stimulus Membuka Kasus Kekerasan Seksual