Di sisi lain, menurut Susi, memasukan metode omnibus ke dalam UU PPP juga tidak berarti persoalan dalam UU Cipta Kerja selesai. Pasalnya, pembentuk UU juga harus menjawab pertanyaan atau merespons pertimbangan dari MK.
"Ini UU baru, UU revisi, atau UU pencabutan? Itu kan ada di UU 12/2011, mereka harus tunduk pada standar-standar itu," kata Susi.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Jadi jangan sampai kemudian perbaikan dengan memasukan metode omnibus, kemudian akan digunakan sebagai justifikasi bahwa UU Cipta Kerja tidak ada masalah," ucapnya menambahkan.
MK sebelumnya menolak sebagian gugatan Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang diajukan sejumlah elemen buruh. Namun, Mahkamah memerintahkan pemerintah dan DPR untuk memperbaiki dalam jangka waktu dua tahun ke depan.
Apabila dalam ketentuan waktu itu tidak menyelesaikan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
Menyikapi hal ini, Anggota Badan Legislasi DPR RI Fraksi Partai Golkar Christina Aryani menyatakan revisi UU 12/2011 merupakan jalan terbaik untuk mengadopsi metode penyusunan regulasi dengan model omnibus law.
Christina juga beranggapan, revisi UU PPP akan menjadi kesempatan untuk memikirkan solusi permasalahan tumpang tindih peraturan dan ketidaksesuaian materi muatan dalam penyusunan regulasi yang terjadi selama ini.
Anggota Baleg DPR lainnya, Firman Soebagyo, menyatakan revisi UU P3 itu bisa dilakukan dengan mengakomodasinya di program legislasi nasional (prolegnas) prioritas 2022.
(dmi/arh)