Jakarta, CNN Indonesia --
Rentetan kecelakaan Transjakarta (TJ) sebulan terakhir menimbulkan pertanyaan mengenai jaminan keselamatan di moda transportasi massal andalan warga DKI Jakarta.
Direksi PT Transportasi Jakarta (Transjakarta) meminta maaf atas rentetan kecelakaan yang baru saja terjadi dalam beberapa hari terakhir. Bukan hanya itu PT Transjakarta pun menggandeng Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) untuk melakukan audit menyeluruh.
"Kami saat ini berupaya keras untuk melakukan perbaikan-perbaikan," ujar Direktur Utama PT Transjakarta, M Yana Aditya dalam konferensi pers, Sabtu (4/12).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dishub DKI Jakarta mencatat sejak Januari hingga Oktober 2021, setidaknya ada 502 kecelakaan yang melibatkan armadanya. Dari total keseluruhan kecelakaan, 12 persen kejadian melibatkan armada bus Transjakarta sebagai korban (ditabrak, diserempet) dan 88 persen bus Transjakarta sebagai pelaku kecelakaan
Lantas bagaimanakah warga DKI dan mereka yang biasa beraktivitas harian di ibu kota negara RI atas apa yang terjadi atas moda transportasi massal yang mayoritas memiliki jalur khusus (busway) itu?
Putra, warga Kebon Jeruk, mengaku kepada CNNIndonesia.com, tetap melihat TransJakarta sebagai moda transportasi umum yang relatif aman dan nyaman dibanding lainnya.
"Merasa aman. Ini juga menjaga keamanan di jalan (dengan jaga jarak), ini sepertinya aman gitu dan nyaman di jalan," ujar Putra saat ditemui di Halte TransJakarta Ragunan, Jakarta Selatan, Senin (6/12).
Ketika ditanya perihal kecelakaan yang terus terjadi pada armada TransJakarta, Putra merasa itu tak berpengaruh pada dirinya sebagai pengguna angkutan umum. Sebab, ia meyakini kecelakaan tersebut terjadi karena kondisi-kondisi tertentu.
"Enggak ngaruh, jadi enggak mempengaruhi kondisi semua TJ lainnya," ujar Putra.
 Putra saat berada di Halte TransJakarta Ragunan, Jakarta Selatan. (CNNIndonesia/ Cintya Faliana) |
Hal serupa disampaikan penumpang yang telah setia menggunakan Transjakarta sejak sepuluh tahun lalu, Tia.
"Enggak jadi parno gitu, mungkin karena udah biasa kali. Udah sejak SMP, 10 tahunan [pakai Transjakarta]," ujar Tia saat ditemui di Halte Pemuda, Rawamangun, Jakarta Timur.
Sejatinya, ujar Tia, dalam menumpang kendaraan baik umum maupun pribadi salah satu hal yang bisa dilakukan untuk terhindar dari kecelakaan adalah berdoa atau berserah diri pada Yang Maha Kuasa dan mempersiapkan segalanya dengan baik.
"Nah terus paling kalo misalnya ada kecelakaan gitu, doa aja deh kayaknya. Mau gimana lagi?" tambahnya.
Tia sendiri mengaku mengandalkan TJ karena itu adalah moda transportasi umum yang terhitung murah dan bisa menjangkau hampir seluruh wilayah DKI Jakarta tanpa kecuali. Biaya untuk sekali jalan adalah Rp3.500, selama tidak keluar dari halte hingga sampai di lokasi tujuan, jumlah tersebut tidak akan bertambah.
 Tia, 24 tahun, Warga Rawamangun pengguna setia TransJakarta. (CNNIndonesia/ Cintya Faliana) |
Alasan ongkos yang murah itulah yang kemudian membuat Suparmi betah menggunakan Transjakarta untuk mengantar aktivitas kesehariannya di DKI Jakarta dan sekitarnya.
Alasan tersebut yang menguatkan Suparmi selama ini setia menggunakan TransJakarta. Perempuan berusia sekitar 50 tahun ini mengaku dengan biaya transportasi lebih banyak yang bisa ia simpan untuk menghidupi anak-anaknya.
Selama dua tahun terakhir, perempuan asli Solo yang memutuskan berdagang di Jakarta ini menggunakan TJ sebagai transportasi utama.
"Mau nge-ojek online ya kadang-kadang mahal. Mau bajaj ya mahal, ngojek mahal. Makanya naik ini aja, enggak masalah bolak-balik naik ini. Ini kan sekali jalan Rp3.500 gitu. Relatif murah, [apalagi] kalau [untuk] orang usaha, jualan [lagi] agak sepi," papar Suparmi saat dalam perjalanan di dalam Transjakarta menuju ke Pasar Rumput, Jakarta Selatan.
Ia sendiri merasa lebih aman menggunakan TJ sebagai kendaraan pilihan dibandingkan angkutan umum. Sepanjang pengalamannya pun, ia tak pernah mendapat kejadian tak menyenangkan saat menggunakan TransJakarta.
"Kalo angkutan kan agak enggak nggenah [bener] gitu, [apalagi] angkutan kan sekarang sudah enggak ada," tambah Suparmi.
 Suparmi, pedagang keliling di sekitar Jakarta Pusat. (CNNIndonesia/ Cintya Faliana) |
Buka halaman selanjutnya ada suara dari awak armada Transjakarta.
Berbeda pandangan dengan para penumpang, salah seorang sopir armada TransJakarta merasa membawa tanggung jawab yang cukup berat. Pasalnya, keamanan penumpang dan kendaraan berada di tangannya.
"Model [kerja] kaya gini kan resikonya gede juga. Bawa penumpang, bawa mobil, terus [harus] mikirin kendaraan lain juga," ujar dia yang hanya mau disebut Raka saat ditemui di halte Ragunan, Jakarta Selatan.
Ia mengatakan sebelum bus jalan, pasti selalu melewati fase cek rutin armada. Pun, sambungnya, dengan para awak. Oleh karena itu, sambungnya, kecelakaan TJ yang terjadi memiliki berbagai faktor penyebab mulai dari kelalaian pengemudi, kondisi jalanan, hingga kondisi kendaraan yang di luar dugaan.
"Apalagi kalo kita di jalur TJ kan jarak mobil kita sama itu [separator jalan] kan gak luas, jadi ya gitu. Kita lengah dikit ya udah [kecelakaan]," tambah Raka.
Saat ini, pengemudi armada TransJakarta menggunakan sistem kilometer untuk menghitung pendapatan. Semakin banyak kilometer yang ditempuh, maka semakin besar pendapatan sopir.
Namun, hal tersebut semakin terbatas akibat pandemi. Selama pandemi, salah satu sopir dari operator MYS mengaku mereka dibagi dua sif yakni pagi dan siang.Semakin pendeknya jam kerja membuat sopir membawa pulang semakin sedikit penghasilan.
Salah seorang sopir TJ lainnya, Patar, mengungkap kondisi tersebut tidak memengaruhinya dalam mengutamakan keselamatan di perjalanan. Ia pun tak memungkiri salah satu penyebab kecelakaan selama ini adalah human error dan murni kelalaian pengemudi.
"Ya saking kurang fokus terus kerja sendiri, [ditambah] ngelamun. Sekarang enggak ada kondektur, udah dua tahun terakhir sudah gak pake," ujar Patar yang sudah empat tahun menjadi sopir TransJakarta.
Patar mengaku sejauh ini setiap vendor memberikan arahan dan himbauan setiap hari, bahkan setiap ritase, agar para pengemudi selalu fokus dan berhati-hati.
Terutama, sistem yang digunakan TransJakarta, menurut Patar lebih nyaman dibanding saat ia menjadi pengemudi angkutan umum. Saat ini, ia merasa lebih teratur dan disiplin. Baik dalam berkendara, jam kerja maupun jam istirahat bagi pengemudi.
"Yang penting bisa tetep fokus sama kerjaan, menjalankan SOP, mudah-mudahan aman lah, bawa hasil pulang ke rumah," tambah Patar dengan tertawa kecil.
[Gambas:Photo CNN]
Ketua Serikat Pekerja Transportasi Jakarta (SPTJ) Jan Oratmangun meminta Transjakarta untuk melakukan evaluasi sistem yang saat ini diterapkan imbas rentetan kecelakaan yang terjadi beberapa waktu belakangan. Jan menilai, menurunnya kualitas Transjakarta merupakan dampak kebijakan yang mengutamakan profit-oriented, sekaligus mengurangi pengawasan SDM pelayanan.
"Serikat pekerja menilai kualitas layanan menurun. Ini adalah dampak dari diberlakukannya berbagai Kebijakan yang lebih mengutamakan profit-oriented dibandingkan pemberdayaan sumber daya manusianya," kata Jan dalam keterangan tertulis, Selasa (7/12).
Ia mengatakan dari kebijakan profit-oriented atau berorientasi pada keuntungan tersebut, terjadi subkebijakan efisiensi anggaran di tingkat lapangan. Kebijakan efisiensi itu menurutnya salah kaprah.
"Beberapa contoh yang bisa jadi perhatian karena kejadian ini adalah, dengan tidak adanya lagi petugas di dalam bus yang seharusnya bisa menjadi pengingat bagi pramudi demi memastikan keamanan dan kenyamanan pelanggan di dalam bus menjadi salah satu hal yang harus diperhatikan oleh perusahaan agar hal seperti ini tidak terjadi lagi," katanya.
Jan memaparkan contoh kebijakan salah kaprah lainnya adalah fungsi kontrol Transjakarta sebagai regulator tidak berjalan dengan baik. Jan menyebut, fungsi kontrol operasional yang tadinya dilakukan oleh petugas pengendalian di setiap koridor atau rute dengan skema 3 orang petugas, saat ini dikerucutkan hingga hanya satu orang di setiap koridor.
Hal itu, menurutnya membuat pengawasan terhadap perilaku mengemudi Pramudi di koridor untuk menerapkan standar pelayanan minimum menjadi lemah.
"Kembalikan fungsi dan marwah Transjakarta ke hakekatnya transportasi publik yang benar-benar menerapkan Standar Pelayanan Minimum (SPM) yang tentu berbasis padat karya untuk menyerap tenaga kerja, bukan berbasis padat teknologi," katanya.